Di
Indonesia pada masa dahulu, untuk penulis dibedakan menjadi beberapa angkatan.
Kemarin, sudah dibahas mengenai novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli yang
merupakan salah satu hasil kesusastraan pada angkatan Balai Pustaka, dan saat
ini akan membahas mengenai novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana
yang merupakan salah satu hasil kesusastraan pada angkatan Pujangga Baru. Judul
yang saya ambil ialah “Kurangnya Rasa Tertarik Pada Remaja Angkatan Pujangga
Baru dalam Novel Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisjahbana”.
Aneh
sekali ketika saya menyebut bahwa novel tersebut tidak membuat remaja pada
zaman tahun 1937, tahun dimana cetakan pertama dari novel ini, tidak tertarik
membacanya. Ketika saya menelusuri setiap artikel di internet, ada salah satu
artikel yang berpendapat bahwa roman ini sepertinya kurang diminati para remaja
pada pertama kali terbit. Padahal, untuk pengangkatan tema yang digunakan St.
Takdir ringan dan tidak jauh dari kenyataan pada kehidupan. Terlebih, roman ini
yang menjadi saksi sejarah dan perkembangan Bahasa Indonesia sekaligus jejak
pemikiran modern Indonesia. Saya berpikir demikian setelah membaca
faktor-faktor yang menyebabkan itu.
Pertama,
roman ini tata bahasanya menggunakan bahasa Melayu yang menyebabkan pembaca
kurang memahami maksudnya. Kedua, tatanan kalimatnya tidak efektif sehingga
menimbulkan ambigu, munculnya dua arti, yang berujung pada kurang mengertinya
para pembaca. Dan terakhir, pemilihan tata kata yang digunakan pada dialog
kurang komunikatif sehingga pembaca merasa jengah untuk membaca sampai akhir.
Seperti pada salah satu dialog ini,
“Tetapi kalau ia
benar cinta kepada Saleh, ia mesti mengikut,” kata Maria pula dengan pasti.
(2010 : 34).
Kata
mesti pada dialog tersebut membuat kejanggalan buat saya. Sebelumnya, saya
mengira bahwa kata mesti tersebut merupakan bahasa yang baru digunakan
akhir-akhir ini. Nyatanya, pada roman ini kata tersebut sudah digunakan.
Berbeda dengan novel lainnya yang saya baca pada zaman tersebut, bahasa yang
digunakan juga tidak terlalu Melayu sehingga pembaca masih bisa memahaminya.
Dibalik
peminat pembaca, roman ini membawa perbedaan yang sangat jauh dengan angkatan
Balai Pustaka. Contohnya saja novel sebelumnya yaitu Sitti Nurbaya karya Marah
Roesli yang bercerita mengenai kerekatan kehidupan sehari-hari pada sebuah adat
lama, menikahkan anaknya dengan yang setanah asal. Sedangkan roman Layar
Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana sudah mengangkat tema mengenai
perjuangan dan kemerdekaan terdapat pada sebuah pidato yang dibicarakan Tuti,
“Saudara-saudaraku
kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru
sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya
kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali
disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti
berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang
praktis sedikit jua pun......” (2010 : 40-41)
Pada
roman ini, tokoh Tuti yang membuat temanya menjadi perjuangan dan kemerdekaan.
Dengan penokohan Tuti yang aktif beroraganisasi, berpidato dimana-mana, membuat
penggambaran khusus terhadap perempuan modern. Diartikan bahwa tidak hanya
laki-laki yang memiliki kebebasan untuk mengikuti segala bentuk kegiatan, namun
perempuan pun layak. Dibalik sikap Tuti yang segala sesuatu diukurnya dengan
kecakapannya sendiri, maka dari itu Tuti jarang memuji berbeda dengan Maria
yang senang memuji.
“Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu
terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang
mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya
amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan dan cakap serta banyak yang akan dapat
dikerjakannya dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya
sendiri, sebab itu ia jarang memuji. Tentang apa saja ia mempunyai pikiran dan
pemandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan
pertimbangan yang disokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak
lombar-melombar, turut-menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai
dengan kata hatinya.” (2010 : 3-4)
Paragraf
di atas dijelaskan bagaimana sikap Tuti. Dibalik sifatnya, ternyata ia memiliki
keinginan mempunyai kekasih hati seperti Maria, adiknya, yang bertali kasih
dengan Yusuf. Namun, keinginannya kembali tertutupi karena kesibukannya pada
suatu organisasi. Padahal, ada Supomo yang memiliki perasaan kepada Tuti, namun
menurut Tuti, Supomo bukan kriterianya, bukan yang dimaunya.
Berbicara
mengenai penulis roman ini, St. Takdir Alisjahbana. Beliau lahir di Natal,
Sumatera Utara, 11 Februari 1908-meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994. St. Takdir
adalah seorang budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga
salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta. Karyanya yang terkenal
adalah Layar Terkembang dan Dian yang Tak Kunjung Padam. Beliau mendapat
penghargaan Satyalencana Kebudayaan pada tahun 1970 oleh Pemerintah RI.
Sutan
Takdir Alisjahbana Armijn Pane pada tahun 1933 memimpin sebuah angkatan sastra
yang bernama Poedjangga Baroe. Angkatan ini mendasarkan diri pada semangat kebangsaan
dan pembentukan budaya dalam gaya romantik, secara resmi munjul bersamaan
dengan terbitnya majalah mereka, Poedjangga Baroe, pada bulan Mei 1933.
Majalah
Poedjangga Baroe merupakan majalah kesusastraan, bahasa dan kebudayaan umum
yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana dengan sekertaris redaksi Armijn Pane
dan para pembantu tetap Sanusi Pane, Or. Madank, Amir Hamzah, dan Ipih A. Hadi.
Angkatan sastra ini sering disebut terpengaruh Gerakan ’80 atau De Tachtiger di
Negeri Belanda, karena penulisnya merupakan golongan terpelajar dan intelektual
Indonesia.
Pengungkapan
kembali zaman kejayaan masa silam menunjukkan rasa bangga mereka terhadap milik
sendiri. Ciri pembentukan budaya baru tampak dari esai, polemik, dan fiksi
mereka. Kebudayaan lama dianggap statis, dan persoalannya hanya sebatas konflik
antara kampung dan kota. Dalam kebudayaan baru, mereka telah mempersoalkan
Timur dan Barat. Dalam masalah ini, kaum Pujangga Baru terpecah menjadi dua
kubu, yaitu kubu Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung Timur dan kubu lainnya
yang cenderung ke Barat.
DAFTAR
PUSTAKA
Alisjahbana
St. Takdir. 2010. Layar Terkembang.
Jakarta : Balai Pustaka.
All Iron-Nosed Aluminum-Batteries. - Tiandora's
ReplyDeleteIron-Nosed ridge wallet titanium Aluminum-Batteries. Stainless Steel core material with titanium water bottle solid titanium apple watch brass core. A ion titanium hair color simple plastic cerakote titanium core material that is also designed to enhance the performance of