Friday, May 20, 2016

Kurangnya Rasa Tertarik Pada Remaja Angkatan Pujangga Baru dalam Novel Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisjahbana


Di Indonesia pada masa dahulu, untuk penulis dibedakan menjadi beberapa angkatan. Kemarin, sudah dibahas mengenai novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli yang merupakan salah satu hasil kesusastraan pada angkatan Balai Pustaka, dan saat ini akan membahas mengenai novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana yang merupakan salah satu hasil kesusastraan pada angkatan Pujangga Baru. Judul yang saya ambil ialah “Kurangnya Rasa Tertarik Pada Remaja Angkatan Pujangga Baru dalam Novel Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisjahbana”.
Aneh sekali ketika saya menyebut bahwa novel tersebut tidak membuat remaja pada zaman tahun 1937, tahun dimana cetakan pertama dari novel ini, tidak tertarik membacanya. Ketika saya menelusuri setiap artikel di internet, ada salah satu artikel yang berpendapat bahwa roman ini sepertinya kurang diminati para remaja pada pertama kali terbit. Padahal, untuk pengangkatan tema yang digunakan St. Takdir ringan dan tidak jauh dari kenyataan pada kehidupan. Terlebih, roman ini yang menjadi saksi sejarah dan perkembangan Bahasa Indonesia sekaligus jejak pemikiran modern Indonesia. Saya berpikir demikian setelah membaca faktor-faktor yang menyebabkan itu.
Pertama, roman ini tata bahasanya menggunakan bahasa Melayu yang menyebabkan pembaca kurang memahami maksudnya. Kedua, tatanan kalimatnya tidak efektif sehingga menimbulkan ambigu, munculnya dua arti, yang berujung pada kurang mengertinya para pembaca. Dan terakhir, pemilihan tata kata yang digunakan pada dialog kurang komunikatif sehingga pembaca merasa jengah untuk membaca sampai akhir. Seperti pada salah satu dialog ini,
“Tetapi kalau ia benar cinta kepada Saleh, ia mesti mengikut,” kata Maria pula dengan pasti. (2010 : 34).
Kata mesti pada dialog tersebut membuat kejanggalan buat saya. Sebelumnya, saya mengira bahwa kata mesti tersebut merupakan bahasa yang baru digunakan akhir-akhir ini. Nyatanya, pada roman ini kata tersebut sudah digunakan. Berbeda dengan novel lainnya yang saya baca pada zaman tersebut, bahasa yang digunakan juga tidak terlalu Melayu sehingga pembaca masih bisa memahaminya.
Dibalik peminat pembaca, roman ini membawa perbedaan yang sangat jauh dengan angkatan Balai Pustaka. Contohnya saja novel sebelumnya yaitu Sitti Nurbaya karya Marah Roesli yang bercerita mengenai kerekatan kehidupan sehari-hari pada sebuah adat lama, menikahkan anaknya dengan yang setanah asal. Sedangkan roman Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana sudah mengangkat tema mengenai perjuangan dan kemerdekaan terdapat pada sebuah pidato yang dibicarakan Tuti,
“Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun......” (2010 : 40-41)
Pada roman ini, tokoh Tuti yang membuat temanya menjadi perjuangan dan kemerdekaan. Dengan penokohan Tuti yang aktif beroraganisasi, berpidato dimana-mana, membuat penggambaran khusus terhadap perempuan modern. Diartikan bahwa tidak hanya laki-laki yang memiliki kebebasan untuk mengikuti segala bentuk kegiatan, namun perempuan pun layak. Dibalik sikap Tuti yang segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, maka dari itu Tuti jarang memuji berbeda dengan Maria yang senang memuji.
Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan dan cakap serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebab itu ia jarang memuji. Tentang apa saja ia mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan pertimbangan yang disokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak lombar-melombar, turut-menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai dengan kata hatinya.” (2010 : 3-4)
Paragraf di atas dijelaskan bagaimana sikap Tuti. Dibalik sifatnya, ternyata ia memiliki keinginan mempunyai kekasih hati seperti Maria, adiknya, yang bertali kasih dengan Yusuf. Namun, keinginannya kembali tertutupi karena kesibukannya pada suatu organisasi. Padahal, ada Supomo yang memiliki perasaan kepada Tuti, namun menurut Tuti, Supomo bukan kriterianya, bukan yang dimaunya.
Berbicara mengenai penulis roman ini, St. Takdir Alisjahbana. Beliau lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908-meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994. St. Takdir adalah seorang budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta. Karyanya yang terkenal adalah Layar Terkembang dan Dian yang Tak Kunjung Padam. Beliau mendapat penghargaan Satyalencana Kebudayaan pada tahun 1970 oleh Pemerintah RI.
Sutan Takdir Alisjahbana Armijn Pane pada tahun 1933 memimpin sebuah angkatan sastra yang bernama Poedjangga Baroe. Angkatan ini mendasarkan diri pada semangat kebangsaan dan pembentukan budaya dalam gaya romantik, secara resmi munjul bersamaan dengan terbitnya majalah mereka, Poedjangga Baroe, pada bulan Mei 1933.
Majalah Poedjangga Baroe merupakan majalah kesusastraan, bahasa dan kebudayaan umum yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana dengan sekertaris redaksi Armijn Pane dan para pembantu tetap Sanusi Pane, Or. Madank, Amir Hamzah, dan Ipih A. Hadi. Angkatan sastra ini sering disebut terpengaruh Gerakan ’80 atau De Tachtiger di Negeri Belanda, karena penulisnya merupakan golongan terpelajar dan intelektual Indonesia.
Pengungkapan kembali zaman kejayaan masa silam menunjukkan rasa bangga mereka terhadap milik sendiri. Ciri pembentukan budaya baru tampak dari esai, polemik, dan fiksi mereka. Kebudayaan lama dianggap statis, dan persoalannya hanya sebatas konflik antara kampung dan kota. Dalam kebudayaan baru, mereka telah mempersoalkan Timur dan Barat. Dalam masalah ini, kaum Pujangga Baru terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung Timur dan kubu lainnya yang cenderung ke Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana St. Takdir. 2010. Layar Terkembang. Jakarta : Balai Pustaka.

1 comments:

  1. All Iron-Nosed Aluminum-Batteries. - Tiandora's
    Iron-Nosed ridge wallet titanium Aluminum-Batteries. Stainless Steel core material with titanium water bottle solid titanium apple watch brass core. A ion titanium hair color simple plastic cerakote titanium core material that is also designed to enhance the performance of

    ReplyDelete