Friday, May 20, 2016

Makna Kehidupan dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang



Satu kata yang digunakan dalam judul yaitu kata Ziarah. Yang terlintas dalam pikiran pembaca adalah novel ini pasti berbau pemakaman. Dan, memang tidak salah. Bahkan, setiap saya membaca tiap babnya ada saja kejadian kematian yang tentunya akan ada kegiatan ziarah setelahnya. Novel Ziarah ini pertama kali cetak pada tahun 1969, dan saya membaca novel Ziarah yang merupakan cetakan kesepuluh pada tahun 2004. Pada tahun 1975, novel Ziarah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling yang berjudul The Pilgrim.
“Sudah berapa lama dia tak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah dikubur, kata orang. Tapi, dia sendiri tak mau melihat istrinya yang sudah mayat itu. Dia, suami si mayat, tak tampak. Dia lari tunggang-langgang ke kakilima jalan raya....” (2004:1)
Penggalan paragraf di atas menunjukkan bahwa sang suami belum bisa menerima kenyataan bahwa sang istri sudah tiada. Bahkan, rutinitas ziarah yang biasa dilakukan orang terdekat setelah orang tersebut meninggal pasti dilakukan. Namun, sebagai suami, ia sudah lama tidak ziarah. Kenyataannya, sang suami tidak mengetahui semua tentang istrinya. Sang suami hanya mengetahui akan kecintaan pada istrinya. Sehingga, pada saat sang istri ingin dikubur, pihak pengusaha penguburan tidak memberi tanggapan positif karena sang suami tidak mengetahui istrinya sendiri.
Awal membaca novel ini, saya sedikit kaget melihat struktur novelnya. Sebuah percakapan biasanya diawali dengan tanda petik (“), namun, di novel ini terkadang mengawalinya menggunakan tanda petik dan tanda (-). Alur yang digunakan pun mundur. Pembaca dibuat ikut merasakan betapa menderitanya tokoh pelukis (sang suami) yang kehilangan istrinya dan dibelakang novel ini pembaca dibuat menikmati pertemuan pelukis dengan sang istri, pernikahan mereka karena berhubungan jasmani di jalan raya, lalu kejadian-kejadian mereka.
Mungkin, sebagian dari mereka yang membaca novel ini akan membicarakan soal filsafatnya, karena memang Iwan Simatupang sendiri pernah belajar filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1858. Namun, saya lebih tertarik pada nilai agama yang hampir tidak ada dalam novel ini.
walaa taktuluu anfusakum innallaha kaana bikum rahimaa” yang artinya “...dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[QS. An-Nisaa’ : 29]. Jelas, di dalam agama Islam, tindakan bunuh diri dilarang. Namun, bunuh diri yang dialami walikota pertama dan seterusnya merupakan aksi yang dilarang dalam agama Islam.
Balas dendam adalah setidaknya suatu tindakan juga. Lepas dari nilai-nilai etik dan moral sesudahnya, tindakan ini sebagai perbuatan yang dengan sadar dilakukan, adalah positif. Dia adalah hasil dari pilihan bebas yang berlaku di daerah kemauan bebas.” (2004:23). Penggalan paragraf di atas menyatakan bahwa balas dendam adalah hasil dari pilihan bebas yang berlaku di daerah kemauan bebas. Disini bebas yang dimaksud memang terlepas dari nilai etik dan moral.
Padahal, dalam agama Islam lebih baik tidak memiliki sifat dendam. Berikut salah satu ayat yang berisi tentang balas dendam atau memiliki sifat dendam.
wain ‘aaqobtum fa’aaqibu bimislimaa ‘uqibtum bihi walain shobartum lahuwakhoirun lisshoobiriin” yang artinya “Jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. Akan tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik lagi bagi orang-orang yang sabar.” [QS. An Nahl:126]. Lebih baik lagi bila bersabar, dibandingkan membalas perbuatan yang kita dapatkan.
Semua kehidupan pasti akan kembali pada yang Maha Kuasa. Alangkah baiknya setiap cobaan, masalah, rintangan, kebahagiaan itu sendiri dihadapi dengan perasaan bersyukur. Maka, jauhlah pikiran bunuh diri maupun balas dendam yang merupakan sifat yang tidak disukai Allah SWT. Sabar memang menjadi kunci penting dalam segala hal di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Simatupang, Iwan. 2004. Ziarah. Jakarta : Djambatan.

0 comments:

Post a Comment