Satu
kata yang digunakan dalam judul yaitu kata Ziarah. Yang terlintas dalam pikiran
pembaca adalah novel ini pasti berbau pemakaman. Dan, memang tidak salah. Bahkan,
setiap saya membaca tiap babnya ada saja kejadian kematian yang tentunya akan
ada kegiatan ziarah setelahnya. Novel Ziarah ini pertama kali cetak pada tahun
1969, dan saya membaca novel Ziarah yang merupakan cetakan kesepuluh pada tahun
2004. Pada tahun 1975, novel Ziarah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Harry Aveling yang berjudul The Pilgrim.
“Sudah
berapa lama dia tak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah
dikubur, kata orang. Tapi, dia sendiri tak mau melihat istrinya yang sudah
mayat itu. Dia, suami si mayat, tak tampak. Dia lari tunggang-langgang ke
kakilima jalan raya....” (2004:1)
Penggalan
paragraf di atas menunjukkan bahwa sang suami belum bisa menerima kenyataan
bahwa sang istri sudah tiada. Bahkan, rutinitas ziarah yang biasa dilakukan
orang terdekat setelah orang tersebut meninggal pasti dilakukan. Namun, sebagai
suami, ia sudah lama tidak ziarah. Kenyataannya, sang suami tidak mengetahui
semua tentang istrinya. Sang suami hanya mengetahui akan kecintaan pada istrinya.
Sehingga, pada saat sang istri ingin dikubur, pihak pengusaha penguburan tidak
memberi tanggapan positif karena sang suami tidak mengetahui istrinya sendiri.
Awal
membaca novel ini, saya sedikit kaget melihat struktur novelnya. Sebuah
percakapan biasanya diawali dengan tanda petik (“), namun, di novel ini
terkadang mengawalinya menggunakan tanda petik dan tanda (-). Alur yang
digunakan pun mundur. Pembaca dibuat ikut merasakan betapa menderitanya tokoh
pelukis (sang suami) yang kehilangan istrinya dan dibelakang novel ini pembaca
dibuat menikmati pertemuan pelukis dengan sang istri, pernikahan mereka karena
berhubungan jasmani di jalan raya, lalu kejadian-kejadian mereka.
Mungkin,
sebagian dari mereka yang membaca novel ini akan membicarakan soal filsafatnya,
karena memang Iwan Simatupang sendiri pernah belajar filsafat di Universitas
Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1858. Namun, saya lebih
tertarik pada nilai agama yang hampir tidak ada dalam novel ini.
“walaa taktuluu anfusakum innallaha kaana
bikum rahimaa” yang artinya “...dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”[QS. An-Nisaa’ : 29]. Jelas, di dalam agama Islam, tindakan bunuh
diri dilarang. Namun, bunuh diri yang dialami walikota pertama dan seterusnya
merupakan aksi yang dilarang dalam agama Islam.
“Balas dendam adalah setidaknya suatu
tindakan juga. Lepas dari nilai-nilai etik dan moral sesudahnya, tindakan ini
sebagai perbuatan yang dengan sadar dilakukan, adalah positif. Dia adalah hasil
dari pilihan bebas yang berlaku di daerah kemauan bebas.” (2004:23).
Penggalan paragraf di atas menyatakan bahwa balas dendam adalah hasil dari
pilihan bebas yang berlaku di daerah kemauan bebas. Disini bebas yang dimaksud
memang terlepas dari nilai etik dan moral.
Padahal,
dalam agama Islam lebih baik tidak memiliki sifat dendam. Berikut salah satu
ayat yang berisi tentang balas dendam atau memiliki sifat dendam.
“wain ‘aaqobtum fa’aaqibu bimislimaa ‘uqibtum
bihi walain shobartum lahuwakhoirun lisshoobiriin” yang artinya “Jika kalian memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian.
Akan tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik lagi bagi
orang-orang yang sabar.” [QS. An Nahl:126]. Lebih baik lagi bila bersabar,
dibandingkan membalas perbuatan yang kita dapatkan.
Semua
kehidupan pasti akan kembali pada yang Maha Kuasa. Alangkah baiknya setiap
cobaan, masalah, rintangan, kebahagiaan itu sendiri dihadapi dengan perasaan
bersyukur. Maka, jauhlah pikiran bunuh diri maupun balas dendam yang merupakan
sifat yang tidak disukai Allah SWT. Sabar memang menjadi kunci penting dalam
segala hal di dunia ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Simatupang,
Iwan. 2004. Ziarah. Jakarta :
Djambatan.
0 comments:
Post a Comment