Teks
atau puisi menurut Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry adalah
pemikiran yang dibakukan melalui media bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre
memperlakukan semua kata menjadi tanda.
Selamat Tinggal
Aku
berkaca
Ini
muka penuh luka
Siapa
punya?
Kudengar
seru menderu....dalam hatiku?....
Apa
hanya angin lalu?
Lagu
lain pula
Menggelepar
tengah malam buta
Ah..........!!
Segala
menebal, segala mengental
Segala
tak kukenal..........!!
Selamat
tinggal..........!!
1.
Penggantian
Arti (Displacing of Meaning)
Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh
penggunaan metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi itu sendiri adalah
bahasa kiasan pada umumnya, yang mengiaskan sesuatu dengan yang lain.
Dalam puisi Selamat Tinggal karya Chairil Anwar,
penggantian arti berupa metafora dalam puisi terdapat dalam larik : ini muka penuh luka/ Siapa punya?. Metafora
di sini mengiaskan seseorang yang memiliki muka dengan banyak kesalahan. Bukan
tergambar dalam perilakunya, tetapi tergambar pada mukanya. Namun, orang yang
memiliki muka penuh luka tersebut masih bertanya-tanya apakah itu benar dirinya
atau bukan.
Kata “lagu” juga memiliki penggantian arti sebagai
bisikan dari luar dirinya. Bukan sebagai lagu yang biasa ada nada di dalamnya.
2.
Pemencongan
atau Penyimpangan Arti (Distorting of
Meaning)
Riffaterre mengemukakan bahwa penyimpangan arti
terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
a. Ambiguitas
itu disebabkan karena bahasa puisi mempunyai arti ganda. Chairil Anwar dalam
puisinya gemar menggunakan kata-kata ambigu, hal ini dilakukannya untuk
menambah kepuitisan setiap larik puisinya. Begitupun juga dalam puisi “Selamat
Tinggal”, berikut kutipannya:
Aku
berkaca
Berkaca
bisa diartikan sebagai melihat diri dalam kaca, setelah itu selesai. Tidak ada
yang bisa dimaknai lebih dalam. Namun, berkaca dalam puisi tersebut salah satu
intopeksi diri dengan melihat kembali segala perilaku yang dilakukan sejauh
hidupnya.
b. Kontradiksi
merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok atau ironi.
Paradok adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan. Terdapat
dalam bait :
Kudengar
seru menderu.....dalam hatiku?.....
Apa
hanya angin lalu?
Lagu
lain pula
Menggelepar
tengah malam buta
Di
bait pertama dengan bait selanjutnya memiliki pertentangan terlihat pada larik
Lagu lain pula, pula dalam larik tersebut sudah jelas memberikan perlawanan
pada bait yang pertama.
c. Nonsense
merupakan kata-kata dalam linguistik yang tidak memiliki arti. Tidak ada arti
khusus dalam kamus. Namun, mempunyai makna yang tidak terlihat. Pasti ada
faktor kesengajaan yang diciptakan penyair dalam pembuatan puisi dengan
hadirnya nonsense. Seperti dalam puisi “Selamat Tinggal” terdapat kata-kata
yang berupa nonsense, lariknya berbunyi :
Ah..........!!
Dalam
kata tersebut tentu bermakna teriakan yang dibuat oleh Chairil. Sebelum kata
tersebut, berisi bait yang bertentangan yang sudah dibahas dalam kontradiksi. Si
penyair mencoba menguatkan kebingungan hatinya yang bertentangan dengan
memunculkan nonsense seperti itu.
3.
Penciptaan
Arti
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian
ruang teks, diantaranya (a) enjambement, (b) sajak, (c) tipografi, dan (d)
homologue (Pradopo, 2007:220).
Tipografi pada puisi “Selamat Tinggal” terlihat pada
penggunaan tanda titik (.) dan tanda seru (!) yang ada dalam puisi tersebut.
Tanda titik-titik yang diberikan dalam puisi tersebut seperti memberikan jeda,
namun dilanjutkan kembali. Seperti pada larik :
Kudengar seru menderu.....dalam hatiku?.....
Tanda seru (!) seperti memberi penegasan dalam
puisi. Dalam teriakannya yang dibahas sebelumnya sudah terlihat. Lalu pada bait
terakhir kedua dan terakhir juga menegaskan bahwa penyair melepas segala
kebimbangan yang ada dalam dirinya.
Segala tak kukenal..........!!
Selamat tinggal..........!!
Dengan bait tersebut, menutup puisi dengan
ketegasan. Dimana penyair tidak peduli dengan segala macam pernyataan yang
tidak sesuai dengan dirinya. Dan mengucapkan selamat tinggal pada
pernyataan-pernyataan tersebut.
4.
Pembacaan
Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca
berdasarkan konvensu bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa
sebagai sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan heuristik sebagai berikut :
Aku berkaca. Ini muka penuh luka, Siapa punya?
Kudengar seru menderu, dalam hatiku. Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula,
menggelepar tengah malam buta. Ah.......!!
Segala menebal, segala mengental. Segala tak
kukenal!! Selamat tinggal!!
5.
Matriks,
Model, dan Varian-varian
Untuk membuka sajak supaya dapat mudah dipahami,
dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-kata kuncinya. Kata
kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan
(Pradopo, 2007:299).
Matriks dalam puisi “Selamat Tinggal” adalah manusia
kecenderungan mengalami kebimbangan ketika mengalami pertempuran ketika
mendapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan yang ada pada dirinya.
Matriks ini ditransformasikan menjadi model “ini
muka penuh luka”, “kudengar seru menderu dalam hatiku”, “apa hanya angin lalu”,
“Lagu lain pula”, “menggelepar tengah malam buta”, “segala menebal, segala
mengental”, “segala tak kukenal”, “selamat tinggal”.
Varian pertama menceritakan bahwa sang penyair
menganggap dirinya memiliki muka yang penuh luka, bahwa banyak kesalahan atau
perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh sang penyair.
Varian kedua menjelaskan bahwa ia mendengar teriakan
dalam hatinya yang menguat dengan kata seru menderu dalam larik tersebut.
Sehingga, teriakan dalam hatinya terlihat nyata.
Varian ketiga berhubungan dengan varian kedua,
setelah mendapatkan varian kedua itu, maka ia bingung dan ragu dengan yang
diucapkan dalam hatinya itu. Ia mulai ragu dengan keyakinan hatinya.
Varian keempat menjelaskan bahwa bukan hanya hatinya
tetapi pernyataan yang keluar dari orang lain untuk dirinya didengar olehnya.
Varian kelima, kata menggelepar memiliki makna lebih
hebat dari seru menderu yang berada pada varian kedua. Ini lebih nyata karena
dari orang lain ia mendengar sesuatu yang ditujukan untuknya.
Varian keenam, konflik awal dari maknanya. Semua
yang didengar dan ditujukan kepadanya semakin jelas dan semakin nyata
bentuknya. Tidak terlihat fana lagi.
Varian ketujuh, puncak konflik dimana ia tak peduli
dengan semua perkataan yang sudah didengarnya. Yang ia tahu bahwa semua yang
didengarnya tak pernah dikenali oleh dirinya sendirinya.
Varian kedelapan, yakni penyelesaian yang Chairil
katakan dengan selamat tinggal. Di sini ada dua kemungkinan, yang pertama
selamat tinggal bahwa ia tidak peduli dengan segala omongan yang membicarakan
tentangnya atau selamat tinggal untuk dirinya dahulu yang penuh luka.
Dari matriks, model, dan varian di atas dapat
disimpulkan tema dan amanat yang disampaikan puisi “Selamat Tinggal” adalah
bahwa dengan semua yang kita dengarkan dari orang lain, yang sesuai dengan kita
dipertahankan, bila tidak sesuai diperiksa lagi bagaimana sifat dan sikap kita
sehingga bisa dinilai yang menurut kita tidak ada dalam diri kita.
6.
Hubungan
Intertekstual Puisi
Prinsip intertekstualitas adalah prinsip hubungan
antar teks sajak. Sebuah sjaka merupakan tanggapan terhadap sajak-sajak
sebelumnya. Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu Hipogram.
Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi
latar penciptaan sajak yang lain (Pradopo, 2007:300).
Dalam puisi “Selamat Tinggal” yang menjadi
hipogramnya adalah kisah seseorang yang mengalami kebimbangan hati dan tanggapan
orang lain tentang dirinya.
0 comments:
Post a Comment