Sunday, April 3, 2016

Selamat Tinggal Chairil Anwar dalam Pandangan Riffaterre



Teks atau puisi menurut Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry adalah pemikiran yang dibakukan melalui media bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda.

Selamat Tinggal

Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu....dalam hatiku?....
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah..........!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal..........!!
Selamat tinggal..........!!


1.      Penggantian Arti (Displacing of Meaning)
Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi itu sendiri adalah bahasa kiasan pada umumnya, yang mengiaskan sesuatu dengan yang lain.
Dalam puisi Selamat Tinggal karya Chairil Anwar, penggantian arti berupa metafora dalam puisi terdapat dalam larik : ini muka penuh luka/ Siapa punya?. Metafora di sini mengiaskan seseorang yang memiliki muka dengan banyak kesalahan. Bukan tergambar dalam perilakunya, tetapi tergambar pada mukanya. Namun, orang yang memiliki muka penuh luka tersebut masih bertanya-tanya apakah itu benar dirinya atau bukan.
Kata “lagu” juga memiliki penggantian arti sebagai bisikan dari luar dirinya. Bukan sebagai lagu yang biasa ada nada di dalamnya.

2.      Pemencongan atau Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning)
Riffaterre mengemukakan bahwa penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
a.      Ambiguitas itu disebabkan karena bahasa puisi mempunyai arti ganda. Chairil Anwar dalam puisinya gemar menggunakan kata-kata ambigu, hal ini dilakukannya untuk menambah kepuitisan setiap larik puisinya. Begitupun juga dalam puisi “Selamat Tinggal”, berikut kutipannya:
Aku berkaca
Berkaca bisa diartikan sebagai melihat diri dalam kaca, setelah itu selesai. Tidak ada yang bisa dimaknai lebih dalam. Namun, berkaca dalam puisi tersebut salah satu intopeksi diri dengan melihat kembali segala perilaku yang dilakukan sejauh hidupnya.
b.     Kontradiksi merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok atau ironi. Paradok adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan. Terdapat dalam bait :
Kudengar seru menderu.....dalam hatiku?.....
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Di bait pertama dengan bait selanjutnya memiliki pertentangan terlihat pada larik Lagu lain pula, pula dalam larik tersebut sudah jelas memberikan perlawanan pada bait yang pertama.
c.      Nonsense merupakan kata-kata dalam linguistik yang tidak memiliki arti. Tidak ada arti khusus dalam kamus. Namun, mempunyai makna yang tidak terlihat. Pasti ada faktor kesengajaan yang diciptakan penyair dalam pembuatan puisi dengan hadirnya nonsense. Seperti dalam puisi “Selamat Tinggal” terdapat kata-kata yang berupa nonsense, lariknya berbunyi :
Ah..........!!
Dalam kata tersebut tentu bermakna teriakan yang dibuat oleh Chairil. Sebelum kata tersebut, berisi bait yang bertentangan yang sudah dibahas dalam kontradiksi. Si penyair mencoba menguatkan kebingungan hatinya yang bertentangan dengan memunculkan nonsense seperti itu.

3.      Penciptaan Arti
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya (a) enjambement, (b) sajak, (c) tipografi, dan (d) homologue (Pradopo, 2007:220).
Tipografi pada puisi “Selamat Tinggal” terlihat pada penggunaan tanda titik (.) dan tanda seru (!) yang ada dalam puisi tersebut. Tanda titik-titik yang diberikan dalam puisi tersebut seperti memberikan jeda, namun dilanjutkan kembali. Seperti pada larik :
Kudengar seru menderu.....dalam hatiku?.....
Tanda seru (!) seperti memberi penegasan dalam puisi. Dalam teriakannya yang dibahas sebelumnya sudah terlihat. Lalu pada bait terakhir kedua dan terakhir juga menegaskan bahwa penyair melepas segala kebimbangan yang ada dalam dirinya.
Segala tak kukenal..........!!
Selamat tinggal..........!!
Dengan bait tersebut, menutup puisi dengan ketegasan. Dimana penyair tidak peduli dengan segala macam pernyataan yang tidak sesuai dengan dirinya. Dan mengucapkan selamat tinggal pada pernyataan-pernyataan tersebut.

4.      Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan konvensu bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan heuristik sebagai berikut :
Aku berkaca. Ini muka penuh luka, Siapa punya? Kudengar seru menderu, dalam hatiku. Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula, menggelepar tengah malam buta. Ah.......!!
Segala menebal, segala mengental. Segala tak kukenal!! Selamat tinggal!!

5.      Matriks, Model, dan Varian-varian
Untuk membuka sajak supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-kata kuncinya. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo, 2007:299).
Matriks dalam puisi “Selamat Tinggal” adalah manusia kecenderungan mengalami kebimbangan ketika mengalami pertempuran ketika mendapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan yang ada pada dirinya.
Matriks ini ditransformasikan menjadi model “ini muka penuh luka”, “kudengar seru menderu dalam hatiku”, “apa hanya angin lalu”, “Lagu lain pula”, “menggelepar tengah malam buta”, “segala menebal, segala mengental”, “segala tak kukenal”, “selamat tinggal”.
Varian pertama menceritakan bahwa sang penyair menganggap dirinya memiliki muka yang penuh luka, bahwa banyak kesalahan atau perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh sang penyair.
Varian kedua menjelaskan bahwa ia mendengar teriakan dalam hatinya yang menguat dengan kata seru menderu dalam larik tersebut. Sehingga, teriakan dalam hatinya terlihat nyata.
Varian ketiga berhubungan dengan varian kedua, setelah mendapatkan varian kedua itu, maka ia bingung dan ragu dengan yang diucapkan dalam hatinya itu. Ia mulai ragu dengan keyakinan hatinya.
Varian keempat menjelaskan bahwa bukan hanya hatinya tetapi pernyataan yang keluar dari orang lain untuk dirinya didengar olehnya.
Varian kelima, kata menggelepar memiliki makna lebih hebat dari seru menderu yang berada pada varian kedua. Ini lebih nyata karena dari orang lain ia mendengar sesuatu yang ditujukan untuknya.
Varian keenam, konflik awal dari maknanya. Semua yang didengar dan ditujukan kepadanya semakin jelas dan semakin nyata bentuknya. Tidak terlihat fana lagi.
Varian ketujuh, puncak konflik dimana ia tak peduli dengan semua perkataan yang sudah didengarnya. Yang ia tahu bahwa semua yang didengarnya tak pernah dikenali oleh dirinya sendirinya.
Varian kedelapan, yakni penyelesaian yang Chairil katakan dengan selamat tinggal. Di sini ada dua kemungkinan, yang pertama selamat tinggal bahwa ia tidak peduli dengan segala omongan yang membicarakan tentangnya atau selamat tinggal untuk dirinya dahulu yang penuh luka.
Dari matriks, model, dan varian di atas dapat disimpulkan tema dan amanat yang disampaikan puisi “Selamat Tinggal” adalah bahwa dengan semua yang kita dengarkan dari orang lain, yang sesuai dengan kita dipertahankan, bila tidak sesuai diperiksa lagi bagaimana sifat dan sikap kita sehingga bisa dinilai yang menurut kita tidak ada dalam diri kita.

6.      Hubungan Intertekstual Puisi
Prinsip intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebuah sjaka merupakan tanggapan terhadap sajak-sajak sebelumnya. Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu Hipogram. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain (Pradopo, 2007:300).
Dalam puisi “Selamat Tinggal” yang menjadi hipogramnya adalah kisah seseorang yang mengalami kebimbangan hati dan tanggapan orang lain tentang dirinya.

0 comments:

Post a Comment