Sunday, June 5, 2016

Antara Barat dan Timur dalam Cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan Karya Umar Kayam



Cerpen tidak akan bisa menjadi sebuah karya yang abadi apabila pembaca tidak turut serta dalam proses abadinya. Sebuah karya dikatakan berhasil apabila para pembaca dan kritikus sastra membicarakan karya tersebut. Bila gajah mati meninggalkan gadingnya dan harimau mati meninggalkan belangnya, maka penulis mati meninggalkan karyanya.
Sama halnya dengan Umar Kayam, ia mati meninggalkan karyanya. Salah satu karyanya yang akan saya bahas di sini ialah cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Sebelum lebih dalam membahas apa-apa saja yang ada dalam cerpen ini, ada baiknya saya akan memperkenalkan Umar Kayam terlebih dahulu.
Umar Kayam seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun). Sebagai kolumnis, Umar dikenal dengan ciri khas tulisannya yang berbau renungan, tetapi tidak mengajak pembacanya berpikir berat. Sementara di bidang perfilman, Umar pernah menulis skenario film, di antaranya Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978.
Cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan merupakan cerpen yang terpilih menjadi cerpen terbaik majalah sastra Horison tahun 1966/1967, dan mulai dibukukan menjadi buku kumpulan cerpen berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan pada tahun 1972. Yang membuat saya membaca ulang cerpen tersebut, karena terjadi ketidakpahaman antara alur cerita dengan maksud penulis menulis cerpen tersebut. Saat itu, saya masih tidak sadar bagaimana cara pengkajian Umar Kayam di cerpen tersebut. Saya menyimpulkan bahwa cerpen ini memang memiliki konflik dan penyelesaian yang mengambang. Dan ternyata memang sebagian besar cerpen karya Umar Kayam tidak memiliki cerita yang sebenarnya, hanya menggambarkan suatu suasana.
Cerpen suasana adalah cerpen yang suasananya lebih menonjol dari aspek yang lain, tidak mementingkan bagaimana klimaksnya, lalu anti klimaks, dan penyelesaian dalam cerpen tersebut. Cerpen Seribu Kunang-kunang inilah salah satu cerpen suasana. Dalam cerpen, lebih diambil dialog antara tokoh satu dengan yang lain dibanding narasinya. Hal ini yang mampu membawa pembaca untuk mengenal suasana macam apa yang ada dalam cerpen melalui dialog antartokoh tersebut.
Dalam cerpen itu ada masalah-masalah yang terjadi, seperti di awal cerpen saat Jane dan Marno memperdebatkan warna bulan, lalu pada saat Marno mengingat suasana malam-malam di sawah embahnya di desa dan Jane tidak suka, saat Jane meminta Marno memakai piyama pemberiannya namun Marno menolak untuk memakainya. Semua masalah yang ada dalam cerpen tersebut berakhir dengan kepulangan Marno yang ternyata tidak bisa bermalam di rumah milik Jane.
Menurut saya, cerpen ini berbeda dari cerpen karya sastrawan lainnya. Mengapa? Karena dari penyajian Umar Kayam saja sudah terlihat lebih ringan dan tidak berbahasa yang berat untuk diartikan, seperti mengalir begitu saja. Biasanya ada karya yang menitikberatkan pada narasi agar alur cerita terarah dan tertata. Namun, berbeda dengan Umar Kayam yang alurnya dibiarkan begitu saja.
Bisa dikatakan dalam cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan menceritakan tentang dua benua yang berbeda. Nama Jane seperti nama kebanyakan orang Barat, sedangkan nama Marno terlihat sekali nama orang Timur. Cerpen ini memiliki latar belakang di Manhattan yang merupakan salah satu pulau bagian dari New York. Jane yang memiliki kenangan bersama mainan kekasih yaitu Uncle Tom, sedangkan Marno memiliki kenangan dengan si Jilamprang, kerbau milik kakeknya.
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
Walaupun cerpen ini termasuk ke dalam cerpen suasana yang hanya menjelaskan suatu suasana, namun ternyata ada pesan moral yang ada dalam cerpen tersebut. Yakni, ketika Marno mengingat sang istri yang sedang di tanah air ketika ia bersama Jane. Namun, ia masih memegang teguh budaya timur untuk tidak menghancurkan kepercayaan istrinya yang di tanah air tersebut.
Latar belakang mengapa cerpen ini lahir, Umar Kayam ingin menonjolkan pesan moral yang sebelumnya saya paparkan. Memang tidak terlihat pesan moralnya, namun itulah adanya bila sedikit dipahami cerpen tersebut. Mereka saling menyayangi, Jane yang kesepian karena baru saja berpisah dengan Tomy dan berusaha menggoda Marno pada saat itu, namun Marno tak menggubris dan enggan untuk melenceng pada budaya Timur yang ia pegang.

0 comments:

Post a Comment