Cerpen tidak akan bisa menjadi sebuah karya yang abadi apabila
pembaca tidak turut serta dalam proses abadinya. Sebuah karya dikatakan
berhasil apabila para pembaca dan kritikus sastra membicarakan karya tersebut.
Bila gajah mati meninggalkan gadingnya dan harimau mati meninggalkan belangnya,
maka penulis mati meninggalkan karyanya.
Sama halnya dengan Umar Kayam, ia mati meninggalkan karyanya. Salah
satu karyanya yang akan saya bahas di sini ialah cerpen Seribu Kunang-kunang
di Manhattan. Sebelum lebih dalam membahas apa-apa saja yang ada dalam
cerpen ini, ada baiknya saya akan memperkenalkan Umar Kayam terlebih dahulu.
Umar Kayam seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga
seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(1988-1997-pensiun). Sebagai kolumnis, Umar dikenal dengan ciri khas tulisannya
yang berbau renungan, tetapi tidak mengajak pembacanya berpikir berat.
Sementara di bidang perfilman, Umar pernah menulis skenario film, di antaranya
Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978.
Cerpen Seribu Kunang-kunang
di Manhattan merupakan cerpen yang terpilih menjadi cerpen terbaik majalah
sastra Horison tahun 1966/1967, dan mulai dibukukan menjadi buku kumpulan
cerpen berjudul Seribu Kunang-kunang di
Manhattan pada tahun 1972. Yang membuat saya membaca ulang cerpen tersebut,
karena terjadi ketidakpahaman antara alur cerita dengan maksud penulis menulis
cerpen tersebut. Saat itu, saya masih tidak sadar bagaimana cara pengkajian
Umar Kayam di cerpen tersebut. Saya menyimpulkan bahwa cerpen ini memang
memiliki konflik dan penyelesaian yang mengambang. Dan ternyata memang sebagian
besar cerpen karya Umar Kayam tidak memiliki cerita yang sebenarnya, hanya
menggambarkan suatu suasana.
Cerpen suasana adalah cerpen yang suasananya lebih menonjol dari
aspek yang lain, tidak mementingkan bagaimana klimaksnya, lalu anti klimaks,
dan penyelesaian dalam cerpen tersebut. Cerpen Seribu Kunang-kunang inilah
salah satu cerpen suasana. Dalam cerpen, lebih diambil dialog antara tokoh satu
dengan yang lain dibanding narasinya. Hal ini yang mampu membawa pembaca untuk
mengenal suasana macam apa yang ada dalam cerpen melalui dialog antartokoh
tersebut.
Dalam cerpen itu ada masalah-masalah yang terjadi, seperti di awal
cerpen saat Jane dan Marno memperdebatkan warna bulan, lalu pada saat Marno
mengingat suasana malam-malam di sawah embahnya di desa dan Jane tidak suka,
saat Jane meminta Marno memakai piyama pemberiannya namun Marno menolak untuk
memakainya. Semua masalah yang ada dalam cerpen tersebut berakhir dengan
kepulangan Marno yang ternyata tidak bisa bermalam di rumah milik Jane.
Menurut saya, cerpen ini berbeda dari cerpen karya sastrawan
lainnya. Mengapa? Karena dari penyajian Umar Kayam saja sudah terlihat lebih
ringan dan tidak berbahasa yang berat untuk diartikan, seperti mengalir begitu
saja. Biasanya ada karya yang menitikberatkan pada narasi agar alur cerita
terarah dan tertata. Namun, berbeda dengan Umar Kayam yang alurnya dibiarkan
begitu saja.
Bisa dikatakan dalam cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan menceritakan
tentang dua benua yang berbeda. Nama Jane seperti nama kebanyakan orang Barat,
sedangkan nama Marno terlihat sekali nama orang Timur. Cerpen ini memiliki
latar belakang di Manhattan yang merupakan salah satu pulau bagian dari New
York. Jane yang memiliki kenangan bersama mainan kekasih yaitu Uncle Tom,
sedangkan Marno memiliki kenangan dengan si Jilamprang, kerbau milik kakeknya.
“Mainan
yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku
tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main
dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu
bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan
bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak
selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa
dia?”
“Dia
boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur
bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
Walaupun cerpen ini termasuk ke dalam cerpen suasana yang hanya
menjelaskan suatu suasana, namun ternyata ada pesan moral yang ada dalam cerpen
tersebut. Yakni, ketika Marno mengingat sang istri yang sedang di tanah air
ketika ia bersama Jane. Namun, ia masih memegang teguh budaya timur untuk tidak
menghancurkan kepercayaan istrinya yang di tanah air tersebut.
Latar belakang mengapa cerpen ini lahir, Umar Kayam ingin
menonjolkan pesan moral yang sebelumnya saya paparkan. Memang tidak terlihat
pesan moralnya, namun itulah adanya bila sedikit dipahami cerpen tersebut.
Mereka saling menyayangi, Jane yang kesepian karena baru saja berpisah dengan
Tomy dan berusaha menggoda Marno pada saat itu, namun Marno tak menggubris dan
enggan untuk melenceng pada budaya Timur yang ia pegang.
0 comments:
Post a Comment