Di
awal mendengar nama dari judul cerpen tersebut, saya mulai tertarik, Godlob. Mungkin hanya satu karya yang
menggunakan nama Godlob menjadi
judul, karena memang kata itu asing di telinga saya. Rasa penasaran itu
diteruskan dengan mencari tahu apa arti nama tersebut dengan bantuan mesin
pencaharian saat ini, Google. Setelah dicari, ada dua arti yang berbeda dalam
kata Godlob ini. Yang pertama, kata Godlob merupakan dua kata yang
digabungkan, yakni kata God (dalam bahasa Inggris berarti Tuhan) dan Love
(dalam bahasa Inggris berarti Cinta). Yang kedua, kata Godlob merupakan kata
dari bahasa Arab “ghadhab”, yang berarti kemurkaan. Sebelum membaca cerpen
Godlob ini, jelas saya tidak mengerti apa yang akan diceritakan Danarto karena
ada dua arti yang berbeda jauh satu sama lain.
Sebelum
lebih jauh menyusuri cerpen ini, ada baiknya saya memperkenalkan siapa penulis
cerpen Godlob. Danarto namanya, ia sastrawan dan pelukis terkemuka di
Indonesia. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1941 di Sragen, Jawa Tengah. Tak
heran memang bila cerpen-cerpennya berlatar belakang budaya orang Jawa, yaitu
sikap hidup orang Jawa khususnya dunia kebatinan atau mistik Jawa. Namun,
berbeda dengan cerpennya yang berjudul Godlob ini. Dalam cerpennya tidak ada
unsur dunia kebatinan atau mistik Jawa. Walaupun, ada sedikit hal berbau mistik
di dalamnya seperti kematian.
Cerpen
Godlob ditulis pada tahun 1967 dan dijadikan kumpulan cerpen yang nama Godlob
sendiri dijadikan judul pada tahun 1975. Sebenarnya Danarto tidak bisa
digolongkan ke dalam penulis produktif, karena tidak hanya menulis yang ditekuninya
melainkan seni drama dan seni lukis juga. Tercatat selama kurun waktu 12 tahun (1975-1987),
Danarto hanya menghasilkan 4 buku kumpulan cerpen yaitu Godlob, Adam Ma’rifat,
Berhala, dan Orang Jawa Naik Haji.
Ketika
saya mendapat cerpen ini di salah satu website, saya langsung membacanya. Kesan
pertama yang saya dapat ketika membaca paragraf pertama, bingung. Saya tipe
pembaca yang lambat membaca situasi dalam cerpen. Namun ketika saya membaca
paragraf-paragraf selanjutnya, saya mulai memahami situasi macam apa yang ada
di dalam cerpen. Suasana setelah perang tentunya. Danarto benar-benar
menggambarkan situasinya secara visualisasi yang tajam, sehingga pembaca mampu
larut dalam suasana yang berusaha digambarkan oleh Danarto.
Ada
sebagian kata-kata yang diulang oleh Danarto dalam cerpen Godlob ini.
Pengulangan katanya ada yang bersifat mengindahkan, ada pula yang bersifat
tidak sesuai dengan kaidah dalam tata bahasa Indonesia. Saya lebih suka dengan
penulis yang langsung ke dalam intinya daripada yang menjelaskan terlalu rumit
untuk dimengerti.
“Laksana
setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga
mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari
bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain” (Paragraf 1)
Kata
compang-camping di sini memang pengulangan kata yang sesuai dengan tata bahasa
Indonesia yang baik. Compang tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya camping,
camping pun seperti itu. Berbeda dengan kata gerombolan gagak-gagak yang
terdapat dalam paragraf 8.
“Tiap
kali gerobak itu melewati gerombolan gagak-gagak yang sedang pesta itu,
gerombolan yang satu ke gerombolan yang lain, hingga mengingatkan lalat-lalat
yang diusir dari koreng kerumunannya”
Dalam
kata gerombolan gagak-gagak merupakan satu hal fatal dalam penggunaan bahasa
Indonesia. Mengapa demikian? Arti kata gerombolan merupakan satu benda yang
jumlahnya lebih dari satu atau banyak. Seharusnya bila sudah menggunakan kata
gerombolan, cukup gagak saja untuk kata selanjutnya, jangan gagak-gagak. Namun,
ini merupakan satu kekhasan yang dipakai Danarto dalam cerpen Godlob.
Bagi
Camus dalam Mite Sisifus, absurditas kehidupan tidak hadir dengan sendirinya,
melainkan ada faktor kuat yang mendorong absurditas itu hadir dalam keseharian.
Pada awalnya, manusia merasa bahwa semua yang dilakukannya bermakna dan bermanfaat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan tersebut dilakukan secara berulang
dan terus-menerus. Hasilnya, timbul kejenuhan pada manusia ketika melakukan
kegiatan yang sama secara bertempo dan berulang, lahirlah absurditas ini. Satu
hal penting yang kiranya tidak patut diluputkan dalam pengkajian tersebut
adalah setiap usaha manusia yang akan selalu berhadapan dengan “dinding-dinding
absurditas”, yakni kematian dari manusia itu sendiri. Berbeda bagi Sartre yang
mengatakan bahwa yang dapat diambil guna mengatasi absurditas kehidupan adalah
dengan melakukan penciptaan diri, memaknai setiap kejadian yang dialami dan
merubahnya pada diri kita.
Dalam
cerpen Godlob tentu absurditas terasa kental sekali. Sang Ayah mengalami
absurditas ketika perjalanan pulang menggunakan kereta yang dibawa oleh dua
kerbau bersama anak bungsunya. Sang Ayah merasakan jenuh dengan rutinitasnya
yang ia lakukan dengan kakak-kakaknya si bungsu terdahulu sampai sekarang.
Pulang dengan membawa anaknya dan disambut oleh sang Ibu, para tetangga, dan
orang-orang besar, kemudian meninggal. Keputusan yang diambil sang Ayah ialah
membunuh anaknya yang saat itu sedang luka akibat peperangan. Itu artinya,
ayahnya menjadi satu contoh apa yang dituturkan Camus dalam buku Mite Sisifus.
Selain
absurditas yang terselip dalam cerpen ini, Danarto merupakan salah satu tokoh
utama sastra sufistik 1970-an di antara Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga
para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan
lain-lain. Sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh
kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraan,
penggunaan lambang, dan metafora (Hadi W.M., 1999). Dalam buku Hadi W.M yang
berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat, sastra sufistik biasanya mengandung
nilai-nilai tasawuf dan pengalaman tasawuf serta mengungkapkan kerinduan
sastrawan terhadap Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan perilaku
yang tergolong dalam pengalaman religius.
Godlob
merupakan pencetus sastra sufisme ini yang diikuti oleh penulis-penulis lain. Saya
sedari tadi bertanya pada diri saya sendiri, dimanakah letak sastra sufistik
dalam cerpen ini. Ternyata, ada pada ketika Danarto menvisualisasikan keadaan
saat pada paragraf pertama dan seterusnya. Lalu, percakapan antara sang Ayah
dengan bungsu saat di kereta yang ditarik oleh dua ekor kerbau.
“Kalau
malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya.
Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak
ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin. Rutin”
Pada
pernyataan yang ayahnya bilang tersebut, ada unsur absurditas juga bahwa ia
seperti ingin ada yang baru dalam hidupnya. Kerinduannya akan Tuhanpun kental
saat ia memaparkan keadaan pada saat itu.
Dari
berbagai sumber yang saya baca, menurut saya masih tidak jelas arti yang cocok
dari kata Godlob yang sesuai dengan isi cerpennya. Namun, setelah saya lebih
mencari apa arti yang cocok untuk Godlob ini, ternyata arti yang pertama lebih
benar. Pada kenyataannya, mereka menganggap bahwa Danarto lahir di keluarga
yang agamanya sangat patuh, sehingga arti Godlob dalam bahasa Arab lebih masuk
ke dalam ceritanya. Danarto pasti mengerti kosa kata bahasa Arab. Dan,
kemurkaan di sini ketika sang Ayah tak kunjung mendapat keadilan yang membuat
dirinya membunuh anaknya.
Namun,
ternyata terbantahkan berdasarkan pernyataan dari Danarto sendiri pada
wawancaranya di islamlib.com. Ketika membuat cerpen Godlob, Danarto mengakui
bahwa dirinya belum belajar agama Islam dengan benar ketika mengarangnya
sebelum usia 28 tahun. Walaupun begitu, Danarto menyatakan bahwa ia telah
belajar tasawuf terlebih dahulu saat itu karena latar agama islam-abangan
keluarganya.
“Ayah,
cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun keadaannya
rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah diatur. Tanpa kuminta dan di luar
pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan Ayah”
Dalam
pernyataan ini sang anak memasrahkan semua keadaan kepada Tuhan setelah ia
berusaha. Cinta Tuhan di sini ketika sang Ayah diberikan kebebasan untuk
memilih. Tetap membawa anaknya sampai kampung halaman atau membunuh anaknya
saat itu juga. Ketika pilihan telah diambil, apa yang terjadi setelah itu
merupakan takdir yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala. Inilah bentuk
kecintaan Tuhan kepada manusia, yakni kebebasan untuk memilih.
Referensi:
Camus,
Albert. 1999. Mite Sisifus. Jakarta:
Gramedia
0 comments:
Post a Comment