Sunday, June 5, 2016

Cinta atau Murka? dalam cerpen “Godlob” karya Danarto



Di awal mendengar nama dari judul cerpen tersebut, saya mulai tertarik, Godlob. Mungkin hanya satu karya yang menggunakan nama Godlob menjadi judul, karena memang kata itu asing di telinga saya. Rasa penasaran itu diteruskan dengan mencari tahu apa arti nama tersebut dengan bantuan mesin pencaharian saat ini, Google. Setelah dicari, ada dua arti yang berbeda dalam kata Godlob ini. Yang pertama, kata Godlob merupakan dua kata yang digabungkan, yakni kata God (dalam bahasa Inggris berarti Tuhan) dan Love (dalam bahasa Inggris berarti Cinta). Yang kedua, kata Godlob merupakan kata dari bahasa Arab “ghadhab”, yang berarti kemurkaan. Sebelum membaca cerpen Godlob ini, jelas saya tidak mengerti apa yang akan diceritakan Danarto karena ada dua arti yang berbeda jauh satu sama lain.
Sebelum lebih jauh menyusuri cerpen ini, ada baiknya saya memperkenalkan siapa penulis cerpen Godlob. Danarto namanya, ia sastrawan dan pelukis terkemuka di Indonesia. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1941 di Sragen, Jawa Tengah. Tak heran memang bila cerpen-cerpennya berlatar belakang budaya orang Jawa, yaitu sikap hidup orang Jawa khususnya dunia kebatinan atau mistik Jawa. Namun, berbeda dengan cerpennya yang berjudul Godlob ini. Dalam cerpennya tidak ada unsur dunia kebatinan atau mistik Jawa. Walaupun, ada sedikit hal berbau mistik di dalamnya seperti kematian.
Cerpen Godlob ditulis pada tahun 1967 dan dijadikan kumpulan cerpen yang nama Godlob sendiri dijadikan judul pada tahun 1975. Sebenarnya Danarto tidak bisa digolongkan ke dalam penulis produktif, karena tidak hanya menulis yang ditekuninya melainkan seni drama dan seni lukis juga. Tercatat selama kurun waktu 12 tahun (1975-1987), Danarto hanya menghasilkan 4 buku kumpulan cerpen yaitu Godlob, Adam Ma’rifat, Berhala, dan Orang Jawa Naik Haji.
Ketika saya mendapat cerpen ini di salah satu website, saya langsung membacanya. Kesan pertama yang saya dapat ketika membaca paragraf pertama, bingung. Saya tipe pembaca yang lambat membaca situasi dalam cerpen. Namun ketika saya membaca paragraf-paragraf selanjutnya, saya mulai memahami situasi macam apa yang ada di dalam cerpen. Suasana setelah perang tentunya. Danarto benar-benar menggambarkan situasinya secara visualisasi yang tajam, sehingga pembaca mampu larut dalam suasana yang berusaha digambarkan oleh Danarto.
Ada sebagian kata-kata yang diulang oleh Danarto dalam cerpen Godlob ini. Pengulangan katanya ada yang bersifat mengindahkan, ada pula yang bersifat tidak sesuai dengan kaidah dalam tata bahasa Indonesia. Saya lebih suka dengan penulis yang langsung ke dalam intinya daripada yang menjelaskan terlalu rumit untuk dimengerti.
“Laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain” (Paragraf 1)
Kata compang-camping di sini memang pengulangan kata yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik. Compang tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya camping, camping pun seperti itu. Berbeda dengan kata gerombolan gagak-gagak yang terdapat dalam paragraf 8.
“Tiap kali gerobak itu melewati gerombolan gagak-gagak yang sedang pesta itu, gerombolan yang satu ke gerombolan yang lain, hingga mengingatkan lalat-lalat yang diusir dari koreng kerumunannya”
Dalam kata gerombolan gagak-gagak merupakan satu hal fatal dalam penggunaan bahasa Indonesia. Mengapa demikian? Arti kata gerombolan merupakan satu benda yang jumlahnya lebih dari satu atau banyak. Seharusnya bila sudah menggunakan kata gerombolan, cukup gagak saja untuk kata selanjutnya, jangan gagak-gagak. Namun, ini merupakan satu kekhasan yang dipakai Danarto dalam cerpen Godlob.
Bagi Camus dalam Mite Sisifus, absurditas kehidupan tidak hadir dengan sendirinya, melainkan ada faktor kuat yang mendorong absurditas itu hadir dalam keseharian. Pada awalnya, manusia merasa bahwa semua yang dilakukannya bermakna dan bermanfaat. Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan tersebut dilakukan secara berulang dan terus-menerus. Hasilnya, timbul kejenuhan pada manusia ketika melakukan kegiatan yang sama secara bertempo dan berulang, lahirlah absurditas ini. Satu hal penting yang kiranya tidak patut diluputkan dalam pengkajian tersebut adalah setiap usaha manusia yang akan selalu berhadapan dengan “dinding-dinding absurditas”, yakni kematian dari manusia itu sendiri. Berbeda bagi Sartre yang mengatakan bahwa yang dapat diambil guna mengatasi absurditas kehidupan adalah dengan melakukan penciptaan diri, memaknai setiap kejadian yang dialami dan merubahnya pada diri kita.
Dalam cerpen Godlob tentu absurditas terasa kental sekali. Sang Ayah mengalami absurditas ketika perjalanan pulang menggunakan kereta yang dibawa oleh dua kerbau bersama anak bungsunya. Sang Ayah merasakan jenuh dengan rutinitasnya yang ia lakukan dengan kakak-kakaknya si bungsu terdahulu sampai sekarang. Pulang dengan membawa anaknya dan disambut oleh sang Ibu, para tetangga, dan orang-orang besar, kemudian meninggal. Keputusan yang diambil sang Ayah ialah membunuh anaknya yang saat itu sedang luka akibat peperangan. Itu artinya, ayahnya menjadi satu contoh apa yang dituturkan Camus dalam buku Mite Sisifus.
Selain absurditas yang terselip dalam cerpen ini, Danarto merupakan salah satu tokoh utama sastra sufistik 1970-an di antara Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraan, penggunaan lambang, dan metafora (Hadi W.M., 1999). Dalam buku Hadi W.M yang berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat, sastra sufistik biasanya mengandung nilai-nilai tasawuf dan pengalaman tasawuf serta mengungkapkan kerinduan sastrawan terhadap Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius.
Godlob merupakan pencetus sastra sufisme ini yang diikuti oleh penulis-penulis lain. Saya sedari tadi bertanya pada diri saya sendiri, dimanakah letak sastra sufistik dalam cerpen ini. Ternyata, ada pada ketika Danarto menvisualisasikan keadaan saat pada paragraf pertama dan seterusnya. Lalu, percakapan antara sang Ayah dengan bungsu saat di kereta yang ditarik oleh dua ekor kerbau.
“Kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya. Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin. Rutin”
Pada pernyataan yang ayahnya bilang tersebut, ada unsur absurditas juga bahwa ia seperti ingin ada yang baru dalam hidupnya. Kerinduannya akan Tuhanpun kental saat ia memaparkan keadaan pada saat itu.
Dari berbagai sumber yang saya baca, menurut saya masih tidak jelas arti yang cocok dari kata Godlob yang sesuai dengan isi cerpennya. Namun, setelah saya lebih mencari apa arti yang cocok untuk Godlob ini, ternyata arti yang pertama lebih benar. Pada kenyataannya, mereka menganggap bahwa Danarto lahir di keluarga yang agamanya sangat patuh, sehingga arti Godlob dalam bahasa Arab lebih masuk ke dalam ceritanya. Danarto pasti mengerti kosa kata bahasa Arab. Dan, kemurkaan di sini ketika sang Ayah tak kunjung mendapat keadilan yang membuat dirinya membunuh anaknya.
Namun, ternyata terbantahkan berdasarkan pernyataan dari Danarto sendiri pada wawancaranya di islamlib.com. Ketika membuat cerpen Godlob, Danarto mengakui bahwa dirinya belum belajar agama Islam dengan benar ketika mengarangnya sebelum usia 28 tahun. Walaupun begitu, Danarto menyatakan bahwa ia telah belajar tasawuf terlebih dahulu saat itu karena latar agama islam-abangan keluarganya.
“Ayah, cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun keadaannya rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah diatur. Tanpa kuminta dan di luar pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan Ayah”
Dalam pernyataan ini sang anak memasrahkan semua keadaan kepada Tuhan setelah ia berusaha. Cinta Tuhan di sini ketika sang Ayah diberikan kebebasan untuk memilih. Tetap membawa anaknya sampai kampung halaman atau membunuh anaknya saat itu juga. Ketika pilihan telah diambil, apa yang terjadi setelah itu merupakan takdir yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala. Inilah bentuk kecintaan Tuhan kepada manusia, yakni kebebasan untuk memilih.

Referensi:
Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus. Jakarta: Gramedia

0 comments:

Post a Comment