Cerpen
Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis menurut saya pribadi sangat menarik. Mulai
dari cara pembungkusan cerita menjadi sebuah cerpen yang unik hingga
pengambilan kata-kata yang indah, itu menurut saya. Bahkan, cerpen ini salah
satu dari sekian banyak cerpennya yang paling fenomenal. Menurut majalah sastra
Kisah, cerpen Robohnya Surau Kami menjadi salah satu cerpen terbaik.
Ada
pepatah yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Sebelum lanjut lebih
mendalam tentang cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami dalam buku
kumpulan cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami, lebih baik kita mengenal
lebih dahulu siapa A.A Navis sebenarnya.
Ali
Akbar Navis yang lebih dikenal A.A. Navis lahir di Padang, Sumatera Barat,
tanggal 17 November 1924. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Tidak
seperti kebanyakan sastrawan Minangkabau yang lebih senang merantau, A.A. Navis
lebih senang mendalami ilmunya di tanah kelahirannya. Menurutnya, merantau
hanyalah masalah pindah tempat baru, mencapai kesuksesan tentunya masih tetap
berdasarkan kreatifitas yang kita miliki.
A.A.
Navis mulai mengenal dunia sastra dari orangtuanya yang memang berlangganan
majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Di dalam majalah tersebut banyak
cerita pendek dan cerita bersambung. Semakin lama membaca, ia mulai
menggemarinya. Sampai ayahnya, St. Marajo Sawiyah, mengetahui dan memahami
kesenangan anaknya. Ayahnya memberi A.A. Navis uang untuk membeli buku bacaan kegemarannya.
Navis
memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch
School(INS) di daerah Kayutaman selama sebelas tahun. Pendidikan formalnya
hanya sampai di INS. Selanjutnya, ia belajar secara otodidak. Akan tetapi,
kegemarannya membaca buku memungkinkan intelektualnya berkembang. Dari berbagai
bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia
berusaha mencari kelemahan dari cerpen Indonesia, dan mencari kekuatan cerpen
asing.
Sebenarnya
Navis sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya
baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa
majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.
A.
Teeuw berkomentar bahwa A.A. Navis layak disebut sebagai pengarang “Angkatan
Terbaru” karena ia seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah
konsep Jawa (pengarang Jawa). Komentar lain, Abrar Yusra, mengatakan bahwa
cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah
sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “Kejantanan di Sumbing” karya Subagio
Sastrowardoyo.
Karya
A.A. Navis dalam bentuk cerita pendek, seperti “Robohnya Surau Kami”, “Hujan
Panas dan Kabut Musim”, “Cerita Tiga Malam”, “Terasing”, “Cinta Buta”, “Man
Rabuka”, “Tiada Membawa Nyawa”, “Perebutan”, dan “Jodoh”. Adapun dalam bentuk
puisi yaitu “Dermaga dengan Empat Sekoci”, sebuah buku yang berisi kumpulan 34
puisi.
Lalu
ada karyanya yang berbentuk novel, seperti “Kernarau” dan “Saraswati si Gadis
dalam Sunyi”. Karya non fiksinya, seperti “Surat-Surat Drama”, “Hamka Sebagai
Pengarang Roman”, “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, “Memadukan Kawasan
dengan Karya Sastra”, “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan sebagai Ladang Hidup”,
dan “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”.
Penghargaan
yang didapatkan pun banyak, seperti Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang
(1989), Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990),
Hadiah sastra dari Mendikbud (1992), Hadiah sastra ASEAN/SEA Writer Award
(1994), Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999), dan Satya Lencana
Kebudayaan dari Pemerintah RI.
Kembali
lagi ke cerita pendek Robohnya Surau Kami. Sebelum ke ceritanya, saya akan
membahas mengenai judulnya. Mengapa judulnya Robohnya Surau Kami? Roboh di
judul cerpen ini sebenarnya bukan roboh yang sesungguhnya. Tetapi roboh di sini
dalam arti tata nilainya, bisa dibilang arti kata konotasi yang dipakai.
Menurut KBBI, arti dari kata “surau” ialah rumah ibadah umat Islam atau orang
Jawa biasa menyebutnya langgar. Sebenarnya cerpen ini bukan tentang sebuah
surau yang roboh di suatu tempat, melainkan surau di sini menjadi satu simbol
sebagai seseorang yang taat menyembahNya. Cerpen ini memutarbalikkan pikiran
orang-orang mengenai seorang alim tentu akan masuk surga. Nyatanya, di cerpen
ini seorang alim yang hanya mementingkan diri sendiri tidak cukup untuk masuk
surga. Karena pada dasarnya, Tuhan tidak menyuruh hambanya hanya untuk
menyembahNya, melainkan berusaha untuk hidup layak di dunia.
Selain
cerita yang menarik, cara membungkus cerita ini pun unik. Bisa dibilang ada
cerita di balik cerita atau biasa disebut cerita berbingkai. Dari awalnya hanya
menceritakan seorang kakek yang menjadi garin di sebuah surau, namun ada cerita
lain dari sang kakek yang mendapat bualan yang tidak dapat disangkal
kebenarannya dari seseorang bernama Ajo Sidi. Dimulai dari halaman 4 buku
Robohnya Surau Kami, sang kakek menceritakan kembali apa yang diceritakan Ajo
Sidi. Ditandai dengan akhir dari sebuah paragraf yang kalimatnya seperti ini
“Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.”.
Cerita
berbingkailah yang menyebabkan alur cerpen ini maju mundur. Di awal cerpen sang
aku menceritakan suasana kota kelahirannya yang sepi karena suatu surau sudah
tidak ada lagi garinnya. Garin yang dimaksud ialah sang kakek. Disebabkan
karena bunuh diri. Lalu ia ceritakan kembali saat sang kakek menceritakan yang
dikatakan Ajo Sidi. Di dalam cerpen terdapat pada halaman 2 pada sebuah akhiran
paragraf dengan kalimat “Beginilah kisahnya.”. Jelas mengalami alur mundur dari
yang awalnya menceritakan suasana kota kelahiran yang sekarang jadi
menceritakan masa lalu mengapa kota kelahirannya menjadi sepi.
Setelah
mengalami alur mundur, cerita mengalami alur maju. Terbukti saat sang aku
menceritakan keesokan harinya dari adegan sang kakek bercerita kepada aku. Pada
halaman 12 dalam paragraf di kalimat awalnya yakni “Dan besoknya, ketika aku
mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.”.
Cerpen
Robohnya Surau Kami bisa digolongkan sebagai cerpen agama. Sekaligus cerpen
yang menyindir orang-orang yang egois mementingkan diri sendiri tanpa
memikirkan dunia. A.A. Navis sendiri dikenal sebagai “Sang Pencemooh” karena
kebanyakan karyanya mencemooh satu kelompok masyarakat tertentu.
Satire
merupakan gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau
seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme, dan
parodi. Istilah ini berasal dari bahasa latin; satira atau satura (campuran
makanan). Pengertian ini sumbernya dari wikipedia.org. Sedangkan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), satire adalah gaya bahasa yang dipakai dalam
kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang.
Sedangkan arti kata menghina adalah merendahkan, memandang rendah, memburukkan
nama baik orang, menyinggung perasaan (seperti memaki-maki, menistakan).
Lebih
seronok lagi pengertian dari wikipedia.org, penghinaan dipersamakan dengan
ucapan kebencian (hate speech) yakni tindakan komunikasi yang dilakukan oleh
suatu individu atau kelompok dengan bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan
kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, warna
kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan agama dan
lain-lain.
Dari
pengertian satire atau menyindir yang suka disalahartikan sama dengan arti
menghina, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen karya A.A. Navis ini merupakan
satire, suatu gaya bahasa yang memang digunakan dalam kesusastraan untuk
menyindir. Mungkin, bisa dibilang perbedaan antara menyindir dan menghina
adalah pada tujuan penulisan. Bila tujuan penulisan disampaikan untuk
masyarakat umum, itu menjadi sebuah sindiran. Sedangkan tertulis jelas
tujuannya, itu masuk ke dalam penghinaan.
Pada
tahun 1950-an, filsafat barat dan timur berpengaruh pada kebudayaan Indonesia
baru. Keduanya membentuk pandangan hidup yang diperlukan manusia. Ini
disebabkan oleh keterbukaan dan kesempatan yang diberikan kepada keduanya untuk
berkembang di Indonesia. Kedua filsafat menyebabkan pendangkalan, yaitu tidak
adanya hubungan dengan Tuhan, hingga kesusastraan hanya berupa lukisan manusia
sebagai manusia.
Maka
dari itu, tak heran bila A.A. Navis melahirkan novel Robohnya Surau Kami
sebagai bacaan yang menengahi tentang kesusastraan yang tidak ada hubungannya
dengan tuhan sama sekali dan kepentingan dunia.
Sebelumnya
sudah dijelaskan bahwa Navis merupakan sastrawan yang memilih untuk tetap di
kota kelahirannya daripada merantau ke daerah lain. Sebagai sastrawan yang
dilahirkan dan tumbuh di lingkungan tradisi Minangkabau yang identik dengan
latar belakang agama Islam yang kuat, maka karya-karyanya termasuk Robohnya
Surau Kami kental dengan unsur-unsur yang berbau dengan agama Islam. Di dalam
lingkungan masyarakat Minang, Surau merupakan tempat yang banyak digunakan
untuk kegiatan belajar mengajar agama. Oleh karena itu, peran Surau amatlah
penting dalam masyarakat Minang. Dari sanalah dibangun karakter-karakter
keislaman yang nantinya akan diberikan kepada anak-anak dan generasi penerus
masyarakatnya. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa dalam cerpen Robohnya
Surau Kami ini, A.A. Navis seperti ingin menceritakan suatu hal yang sangat
penting untuk disampaikan.
Referensi:
kbbi.web.id
0 comments:
Post a Comment