Sunday, June 5, 2016

Keadaan Sia-sia dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis



Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis menurut saya pribadi sangat menarik. Mulai dari cara pembungkusan cerita menjadi sebuah cerpen yang unik hingga pengambilan kata-kata yang indah, itu menurut saya. Bahkan, cerpen ini salah satu dari sekian banyak cerpennya yang paling fenomenal. Menurut majalah sastra Kisah, cerpen Robohnya Surau Kami menjadi salah satu cerpen terbaik.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Sebelum lanjut lebih mendalam tentang cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami, lebih baik kita mengenal lebih dahulu siapa A.A Navis sebenarnya.
Ali Akbar Navis yang lebih dikenal A.A. Navis lahir di Padang, Sumatera Barat, tanggal 17 November 1924. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara. Tidak seperti kebanyakan sastrawan Minangkabau yang lebih senang merantau, A.A. Navis lebih senang mendalami ilmunya di tanah kelahirannya. Menurutnya, merantau hanyalah masalah pindah tempat baru, mencapai kesuksesan tentunya masih tetap berdasarkan kreatifitas yang kita miliki.
A.A. Navis mulai mengenal dunia sastra dari orangtuanya yang memang berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Di dalam majalah tersebut banyak cerita pendek dan cerita bersambung. Semakin lama membaca, ia mulai menggemarinya. Sampai ayahnya, St. Marajo Sawiyah, mengetahui dan memahami kesenangan anaknya. Ayahnya memberi A.A. Navis uang untuk membeli buku bacaan kegemarannya.
Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School(INS) di daerah Kayutaman selama sebelas tahun. Pendidikan formalnya hanya sampai di INS. Selanjutnya, ia belajar secara otodidak. Akan tetapi, kegemarannya membaca buku memungkinkan intelektualnya berkembang. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha mencari kelemahan dari cerpen Indonesia, dan mencari kekuatan cerpen asing.
Sebenarnya Navis sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.
A. Teeuw berkomentar bahwa A.A. Navis layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru” karena ia seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa). Komentar lain, Abrar Yusra, mengatakan bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “Kejantanan di Sumbing” karya Subagio Sastrowardoyo.
Karya A.A. Navis dalam bentuk cerita pendek, seperti “Robohnya Surau Kami”, “Hujan Panas dan Kabut Musim”, “Cerita Tiga Malam”, “Terasing”, “Cinta Buta”, “Man Rabuka”, “Tiada Membawa Nyawa”, “Perebutan”, dan “Jodoh”. Adapun dalam bentuk puisi yaitu “Dermaga dengan Empat Sekoci”, sebuah buku yang berisi kumpulan 34 puisi.
Lalu ada karyanya yang berbentuk novel, seperti “Kernarau” dan “Saraswati si Gadis dalam Sunyi”. Karya non fiksinya, seperti “Surat-Surat Drama”, “Hamka Sebagai Pengarang Roman”, “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra”, “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan sebagai Ladang Hidup”, dan “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”.
Penghargaan yang didapatkan pun banyak, seperti Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989), Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990), Hadiah sastra dari Mendikbud (1992), Hadiah sastra ASEAN/SEA Writer Award (1994), Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999), dan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
Kembali lagi ke cerita pendek Robohnya Surau Kami. Sebelum ke ceritanya, saya akan membahas mengenai judulnya. Mengapa judulnya Robohnya Surau Kami? Roboh di judul cerpen ini sebenarnya bukan roboh yang sesungguhnya. Tetapi roboh di sini dalam arti tata nilainya, bisa dibilang arti kata konotasi yang dipakai. Menurut KBBI, arti dari kata “surau” ialah rumah ibadah umat Islam atau orang Jawa biasa menyebutnya langgar. Sebenarnya cerpen ini bukan tentang sebuah surau yang roboh di suatu tempat, melainkan surau di sini menjadi satu simbol sebagai seseorang yang taat menyembahNya. Cerpen ini memutarbalikkan pikiran orang-orang mengenai seorang alim tentu akan masuk surga. Nyatanya, di cerpen ini seorang alim yang hanya mementingkan diri sendiri tidak cukup untuk masuk surga. Karena pada dasarnya, Tuhan tidak menyuruh hambanya hanya untuk menyembahNya, melainkan berusaha untuk hidup layak di dunia.
Selain cerita yang menarik, cara membungkus cerita ini pun unik. Bisa dibilang ada cerita di balik cerita atau biasa disebut cerita berbingkai. Dari awalnya hanya menceritakan seorang kakek yang menjadi garin di sebuah surau, namun ada cerita lain dari sang kakek yang mendapat bualan yang tidak dapat disangkal kebenarannya dari seseorang bernama Ajo Sidi. Dimulai dari halaman 4 buku Robohnya Surau Kami, sang kakek menceritakan kembali apa yang diceritakan Ajo Sidi. Ditandai dengan akhir dari sebuah paragraf yang kalimatnya seperti ini “Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.”.
Cerita berbingkailah yang menyebabkan alur cerpen ini maju mundur. Di awal cerpen sang aku menceritakan suasana kota kelahirannya yang sepi karena suatu surau sudah tidak ada lagi garinnya. Garin yang dimaksud ialah sang kakek. Disebabkan karena bunuh diri. Lalu ia ceritakan kembali saat sang kakek menceritakan yang dikatakan Ajo Sidi. Di dalam cerpen terdapat pada halaman 2 pada sebuah akhiran paragraf dengan kalimat “Beginilah kisahnya.”. Jelas mengalami alur mundur dari yang awalnya menceritakan suasana kota kelahiran yang sekarang jadi menceritakan masa lalu mengapa kota kelahirannya menjadi sepi.
Setelah mengalami alur mundur, cerita mengalami alur maju. Terbukti saat sang aku menceritakan keesokan harinya dari adegan sang kakek bercerita kepada aku. Pada halaman 12 dalam paragraf di kalimat awalnya yakni “Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.”.
Cerpen Robohnya Surau Kami bisa digolongkan sebagai cerpen agama. Sekaligus cerpen yang menyindir orang-orang yang egois mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan dunia. A.A. Navis sendiri dikenal sebagai “Sang Pencemooh” karena kebanyakan karyanya mencemooh satu kelompok masyarakat tertentu.
Satire merupakan gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme, dan parodi. Istilah ini berasal dari bahasa latin; satira atau satura (campuran makanan). Pengertian ini sumbernya dari wikipedia.org. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), satire adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Sedangkan arti kata menghina adalah merendahkan, memandang rendah, memburukkan nama baik orang, menyinggung perasaan (seperti memaki-maki, menistakan).
Lebih seronok lagi pengertian dari wikipedia.org, penghinaan dipersamakan dengan ucapan kebencian (hate speech) yakni tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dengan bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan agama dan lain-lain.
Dari pengertian satire atau menyindir yang suka disalahartikan sama dengan arti menghina, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen karya A.A. Navis ini merupakan satire, suatu gaya bahasa yang memang digunakan dalam kesusastraan untuk menyindir. Mungkin, bisa dibilang perbedaan antara menyindir dan menghina adalah pada tujuan penulisan. Bila tujuan penulisan disampaikan untuk masyarakat umum, itu menjadi sebuah sindiran. Sedangkan tertulis jelas tujuannya, itu masuk ke dalam penghinaan.
Pada tahun 1950-an, filsafat barat dan timur berpengaruh pada kebudayaan Indonesia baru. Keduanya membentuk pandangan hidup yang diperlukan manusia. Ini disebabkan oleh keterbukaan dan kesempatan yang diberikan kepada keduanya untuk berkembang di Indonesia. Kedua filsafat menyebabkan pendangkalan, yaitu tidak adanya hubungan dengan Tuhan, hingga kesusastraan hanya berupa lukisan manusia sebagai manusia.
Maka dari itu, tak heran bila A.A. Navis melahirkan novel Robohnya Surau Kami sebagai bacaan yang menengahi tentang kesusastraan yang tidak ada hubungannya dengan tuhan sama sekali dan kepentingan dunia.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Navis merupakan sastrawan yang memilih untuk tetap di kota kelahirannya daripada merantau ke daerah lain. Sebagai sastrawan yang dilahirkan dan tumbuh di lingkungan tradisi Minangkabau yang identik dengan latar belakang agama Islam yang kuat, maka karya-karyanya termasuk Robohnya Surau Kami kental dengan unsur-unsur yang berbau dengan agama Islam. Di dalam lingkungan masyarakat Minang, Surau merupakan tempat yang banyak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar agama. Oleh karena itu, peran Surau amatlah penting dalam masyarakat Minang. Dari sanalah dibangun karakter-karakter keislaman yang nantinya akan diberikan kepada anak-anak dan generasi penerus masyarakatnya. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa dalam cerpen Robohnya Surau Kami ini, A.A. Navis seperti ingin menceritakan suatu hal yang sangat penting untuk disampaikan.

Referensi:
kbbi.web.id

0 comments:

Post a Comment