Pertama
kali yang terlintas di benak saya ketika membaca pembukaan cerpen Langit Makin
Mendung karya Ki Pandji Kusmin bahwa ini cerpen religi. Lagi-lagi saya harus
membaca cerpen religi setelah Godlob karya Danarto dan Robohnya Surau Kami
karya A.A. Navis. Namun, setelah saya melanjutkan paragraf selanjutnya,
penggunaan gaya bahasa yang digunakan oleh Ki Pandji Kusmin ini tidak menandakan
bahwa cerpen tersebut bertema religi, bahkan jauh dari kata religi. Di
pembukaan cerpen ini mengisahkan seorang nabi, Muhammad salallahu’alaihiwassalam,
yang merasa jenuh tinggal di surga. Nabi Muhammad salallahu’alaihiwassalam
meminta kepada Allah untuk menurunkan ia ke bumi, melihat apa yang sebenarnya
terjadi pada umatNya hingga banyak yang masuk ke dalam neraka, bukan surga.
Sebelum
menuju kepada topik utama, cerpen itu sendiri. Ada baiknya bila saya
memperkenalkan penulis cerpen ini terlebih dahulu. Ki Pandji Kusmin merupakan
nama pena yang dilampirkan dalam kiriman cerpen di Majalah Sastra yang dipimpin
oleh HB Jassin. Awalnya, Ki Pandji Kusmin menolak memberitahukan nama aslinya.
Namun, identitas asli Ki Pandji Kusmin dibongkar sendiri. Ia mengaku memiliki
nama asli Soedihartono, seorang kadet Akademi Pelayaran Nasional yang tengah
menjalani ikatan dinas selama enam tahun di Jakarta.
Ki
Pandji Kusmin menolak yang berpendapat bahwa dirinya menghina ajaran Islam.
Justru cerpen tersebut dimaksudkan sebagai bentuk komunikasi langsungnya dengan
Tuhan dan Nabi Muhammad dalam bentuk cerita yang memang sensitif. HB Jassin pun
dijadikan bahan percobaan penahanan selama setahun karena sudah menerbitkan
cerpen ini di Majalah Sastra binaannya.
Cerpen
Langit Makin Mendung merupakan cerita ketika pada masa Soekarno. Namun, karena
baru diterbitkan pada masa orde baru, kurang mendapat tempat yang pas untuk
cerpen itu sendiri. Padahal cerpen tersebut bila diterbitkan pada masa Soekarno,
akan terasa dampaknya.
Latar
belakang yang akan saya paparkan bukan saat pascakomunisme, tetapi saya akan
memaparkan pada saat komunisme itu berlangsung. Ada kata sputnik di dalam
percakapan Nabi Muhammad dan Jibril,
“benda
apa di sana?” Nabi keheranan
“orang
bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”.
Sputnik
merupakan pesawat luar angkasa yang dikirim ole Uni Soviet. Di cerpen
diceritakan bahwa pembuat pesawat luar angkasa ini seorang kafir, namun otak
mereka pandai sehingga mampu mengirim objek buatan manusia pertama ke orbit
Bumi
Lalu
ada percakapan yang mengatakan bahwa pembuat sputnik ini pengikut Marx dan
Lenin. Marx atau nama lengkapnya Karl Marx menerbitkan paham ideologi komunisme
pada 21 Februari 1848 dan pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh
dalam dunia politik. Lenin sendiri meracik ideologi komunisme menjadi komunis
internasional. Kawan Mao yang digunakan pada cerpen, Mao Zedong merupakan
pencipta idologi komunisme di Tiongkok dengan menyatukan berbagai filsafat kuno
dari Tiongkok dengan Marxisme yang kemudian ia sebut sebagai Maoisme.
Indonesia
memang sempat merencanakan pengganyangan terhadap Malaysia pada masa orde lama
tersebut. Ki Pandji Kusmin sengaja memasukkan peristiwa itu dengan sindiran
halus yang dibawa oleh percakapan Nabi Muhammad dan Jibril,
“Aneh.
Gilakah mereka?”
“Tidak,
hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang
se-agama!”.
Lalu,
ada cerita kehidupan sosial bangsa Indonesia pada masa orde lama, ketika ada
copet atau jambret apa yang biasanya terjadi pada sekitarnya, hukum di
Indonesia yang masih lemah dihadirkan juga dalam cerpen ini ketika sang copet
hanya dipukuli bukan dipotong tangannya dengan alasan tidak mampu membeli
pedang impor, dan kehidupan para pelacur. Pada kesimpulannya, cerpen ini dibuat
untuk menggambarkan kondisi ekonomi, sosial, politik, agama, dan lainnya yang
terjadi pada masa orde lama pimpinan Soekarno.
Saya
hampir lupa menjelaskan mengapa judul yang saya ambil adalah sayap kanan vs
sayap kiri atau islam vs komunisme. Secara tidak langsung penggambaran surga
seolah seolah-olah mereprentasi kaum-kaum islam yang tidak suka dengan ideologi
Nasakom yang dibawa soekarno pada orde lama (orla).
“Apa
dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa
mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”
“Nasakom?
Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw.
nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian
tajam-tajam!”
Dari
percakapan Nabi Muhammad dan Tuhan di atas bisa diartikan secara langsung.
Surga yang seolah-olah mepresentasi umat muslim menganggap bahwa Nasakom yang
dibawa Soekarno adalah sebuah racun. Dan dimulailah perjalanan Nabi Muhammad
dan Jibril di bumi, melihat bagaimana dampak racun yang bernama Nasakom
tersebut.
Kebebasan
berekspresi yang diciptakan Ki Pandji Kusmin dalam cerpen ini sempat tak
terealisasi karena dilarang terbit di Sumatera Utara pada 12 Oktober dan
beberapa grup remaja Islam menyerang kantor Sastra di Jakarta. Hal itu dianggap
melecehkan agama Islam dengan penggambaran Allah, Nabi Muhammad, dan Jibril
dalam cerpen tersebut. Sebenarnya, pelecehan itu relatif. Ada yang menganggap
bahwa karya tersebut fiksi sehingga tak masalah bila penggambaran jauh dari
kenyataannya. Namun, ada yang berpendapat bahwa bila karya tersebut fiksi
sekalipun, tetap saja harus pada kaidah yang sebenarnya. Keyakinan bila
disinggung dalam karya memang sedikit membahayakan. Pasalnya, ada ketidaksamaan
terhadap satu hal dari kenyataan dengan karya akan dianggap bahwa itu
melecehkan.
Banyak
hal-hal yang mengganjal di dalam cerpen ini, dan tidak ada ceritanya dalam
Islam sendiri. Seperti pada kalimat “Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum
penuh pengertian –penuh kebapaan”. Dua kata yang membuat saya sedikit menarik
bibir ke atas, penuh kebapaan, dua kata ini pada kenyataannya tidak bisa sama
sekali digambarkan sebagai Allah. Sekali lagi, di awal cerpen ini menyebut nama
Allah bukan Bapa Yesus.
Dijelaskan
dalam firman-Nya: “Katakanlah: Dia-lah Allah,
Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia
tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlas, 112: 1:4).
-Dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia-. Jadi, melenceng jauh dari Islam
dimana Allah swt tidak bisa disetarakan dengan siapapun. Mungkin, ini
disebabkan karena Ki Pandji Kusmin sempat di Sekolah Dasar Katolik yang
membuatnya mengekspresikan Allah seperti itu. Selain itu, ada beberapa yang
melenceng dari Islam secara cerita dalam cerpen ini, seperti malaikat Jibril
yang sudah tua dan ketika penggambaran Tuhan memakai kacamata model kuno dari
emas. Penggambaran memakai kacamata sendiri seakan-akan Allah tak sempurna
sehingga memerlukan kacamata.
“Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna
(nama-nama yang baik).” (QS. Thaahaa [20]: 8)
Dimana
Allah Al Qawiyyu, Yang Maha Kuat dan Al Matiin, Yang Maha Kokoh. Tidak ada
dasarnya Allah tak sempurna, membutuhkan benda seperti kacamata. Kacamata
bergaya? Allah Al Majiid, Yang Maha Mulia.
Menurut
saya pribadi, cerpen ini memang bukan untuk melecehkan agama Islam. Hanya cara
pembukaan cerpen tersebut saja yang memang seperti itu. Selebihnya, 3/4
isi cerpen ini mengisahkan tentang
keadaan dimana Soekarno menerapkan ideologi Nasakom. Kritik yang tajam dan
menggelitik itu yang menarik. Pada saat Nabi Muhammad dan Jibril akan ke bumi
menggunakan buroq-kuda, ada semacam upacara pelepasan yang dilepas dengan
pidato dari Nabi Adam as.
Referensi:
0 comments:
Post a Comment