Sunday, June 5, 2016

Paus Sastra dari Gorontalo



Hans Bague Jassin atau yang lebih dikenal dengan sebutan HB. Jassin adalah seorang pengarang, penyunting, dan kritikus asal Gorontalo. Lahir di Gorontalo, 13 Juli 1917 - meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Anak dari ayahnya yang bernama Bague Mantu Jassin, seorang Kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba Jau. Julukan Paus Sastra pun menempel pada dirinya yang diberikan oleh sastrawan Gajus Siagian. Saat itu memang keadaannya berkembang bahwa seseorang dianggap sastrawan apabila sudah sah dibaptis oleh HB. Jassin sendiri. Walaupun terdengar berlebihan, namun begitulah adanya. Gelar ini menunjukkan betapa besarnya wibawa dan pengaruh Jassin terhadap kehidupan sastra di negeri kita. Juga betapa tingginya penghormatan para sastrawan atas dirinya.
Kritik yang dibuat oleh HB. Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Salah satunya saja peristiwa dan kontroversi yang dialami HB. Jassin saat ia membela Chairil Anwar (1956) yang dituduh sebagai plagiat melalui bukunya yang berjudul “Chairil Anwar Penyair Angkatan 45” dan soal Hamka, ia menyimpulkan bahwa dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka terkena pengaruh besar dari al-Manfaluthi. Lalu, ketika ia memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin di Majalah Sastra tahun 1971. Karena ia menolak untuk mengungkapkan nama asli dari si pengarang tersebut, ia dijatuhi hukuman selama satu tahun penjara. Karena ternyata cerpen ini dianggap menghina Tuhan oleh kalangan luar. Dan hingga kini, hanya HB. Jassin lah yang tahu siapa yang bersembunyi dibalik nama Ki Panji Kusmin.
Selain pembela karya sastra, HB. Jassin juga sebagai dokumentator sastra Indonesia. Memulai karirnya sebagai pengumpul dokumen. Ia mendirikan pusat dokumentasi sastra secara pribadi pada tahun 1940. Tentang hal ini ia pernah menulis :
Dari tiap-tiap pengarang mestinya dikumpulkan setiap tulisannya, baik berupa buku maupun yang tersebar dimana-mana, sedikitnya diadakan inventarisasi, dikumpulkan pendapat-pendapat mengenai kegiatannya, dikumpulkan data-data mengenai kehidupannya dan sebagainya. Pikiran kita terarah pada pembentukan satu gedung Dokumentasi Kesusastraan, di mana semua keterangan mengenai apa saja yang menyangkut kesusastraan bisa ditemukan” (1967).
Impiannya kemudia terwujud. Pusat yang didirikannya diresmikan menjadi Yayasan Dokumentasi Sastra HB. Jassin pada tanggal 30 Mei 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta (waktu itu) Ali Sadikin.
Lalu HB. Jassin juga sebagai penerjemah yang baik. HB. Jassin mulai menerjemah pada tahun 1941. Bahasa yang dikuasai beliau yakni bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Arab, dan Jerman. Terjemahannya dari karya Multatuli, Max Havelaar (Djambatan, 1972), mengganjarnya dengan hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds di Belanda pada tahun 1973. Kontroversi mengiringi Jassin tatkala ia menerjemahkan al-Quran dalam wajah puisi, yakni Al-Quran al-Karim Bacaan Mulia (1978) dan Berita Besar (1984).
Dan tentu saja HB. Jassin ini merupakan tokoh kritikus terbesar sastra Indonesia. HB. Jassin memiliki wibawa yang tinggi. Dalam menilai karya sastra, sekali lagi Jassin lebih mementingkan unsur perasaan daripada pikiran. Kritik sastra yang digunakan Jassin tergolong metode ganzheit, di mana kritikus membaca karya seniman tanpa konsepsi a priori apa pun. Pendekatan Jassin terhadap karya sastra adalah keseluruhan, kemudia analisis bagian-bagian.
Karya-karya Jassin dalam bidang kritik sastra antara lain Angkatan 45 (1952), Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (4 jilid, 1954 dan 197), Heboh Sastra (1968), Suatu Pertanggungjawaban (1970), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (cet. 3, 1981), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), dan Koran dan Sastra Indonesia (1994).

0 comments:

Post a Comment