Hans Bague Jassin atau
yang lebih dikenal dengan sebutan HB. Jassin adalah seorang pengarang,
penyunting, dan kritikus asal Gorontalo. Lahir di Gorontalo, 13 Juli 1917 -
meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Anak dari ayahnya yang bernama Bague Mantu
Jassin, seorang Kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), dan ibunya
bernama Habiba Jau. Julukan Paus Sastra pun menempel pada dirinya yang
diberikan oleh sastrawan Gajus Siagian. Saat itu memang keadaannya berkembang
bahwa seseorang dianggap sastrawan apabila sudah sah dibaptis oleh HB. Jassin
sendiri. Walaupun terdengar berlebihan, namun begitulah adanya. Gelar ini
menunjukkan betapa besarnya wibawa dan pengaruh Jassin terhadap kehidupan
sastra di negeri kita. Juga betapa tingginya penghormatan para sastrawan atas
dirinya.
Kritik yang dibuat oleh
HB. Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan
kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Salah satunya saja
peristiwa dan kontroversi yang dialami HB. Jassin saat ia membela Chairil Anwar
(1956) yang dituduh sebagai plagiat melalui bukunya yang berjudul “Chairil
Anwar Penyair Angkatan 45” dan soal Hamka, ia menyimpulkan bahwa dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka
terkena pengaruh besar dari al-Manfaluthi. Lalu, ketika ia memuat cerpen Langit
Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin di Majalah Sastra tahun 1971. Karena ia
menolak untuk mengungkapkan nama asli dari si pengarang tersebut, ia dijatuhi
hukuman selama satu tahun penjara. Karena ternyata cerpen ini dianggap menghina
Tuhan oleh kalangan luar. Dan hingga kini, hanya HB. Jassin lah yang tahu siapa
yang bersembunyi dibalik nama Ki Panji Kusmin.
Selain pembela karya
sastra, HB. Jassin juga sebagai dokumentator sastra Indonesia. Memulai karirnya
sebagai pengumpul dokumen. Ia mendirikan pusat dokumentasi sastra secara
pribadi pada tahun 1940. Tentang hal ini ia pernah menulis :
“Dari tiap-tiap pengarang mestinya dikumpulkan setiap tulisannya, baik
berupa buku maupun yang tersebar dimana-mana, sedikitnya diadakan inventarisasi,
dikumpulkan pendapat-pendapat mengenai kegiatannya, dikumpulkan data-data
mengenai kehidupannya dan sebagainya. Pikiran kita terarah pada pembentukan
satu gedung Dokumentasi Kesusastraan, di mana semua keterangan mengenai apa
saja yang menyangkut kesusastraan bisa ditemukan” (1967).
Impiannya kemudia
terwujud. Pusat yang didirikannya diresmikan menjadi Yayasan Dokumentasi Sastra
HB. Jassin pada tanggal 30 Mei 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta (waktu itu) Ali
Sadikin.
Lalu HB. Jassin juga
sebagai penerjemah yang baik. HB. Jassin mulai menerjemah pada tahun 1941.
Bahasa yang dikuasai beliau yakni bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Arab, dan
Jerman. Terjemahannya dari karya Multatuli, Max Havelaar (Djambatan, 1972),
mengganjarnya dengan hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds di
Belanda pada tahun 1973. Kontroversi mengiringi Jassin tatkala ia menerjemahkan
al-Quran dalam wajah puisi, yakni Al-Quran al-Karim Bacaan Mulia (1978) dan
Berita Besar (1984).
Dan tentu saja HB.
Jassin ini merupakan tokoh kritikus terbesar sastra Indonesia. HB. Jassin
memiliki wibawa yang tinggi. Dalam menilai karya sastra, sekali lagi Jassin
lebih mementingkan unsur perasaan daripada pikiran. Kritik sastra yang
digunakan Jassin tergolong metode ganzheit,
di mana kritikus membaca karya seniman tanpa konsepsi a priori apa pun. Pendekatan Jassin terhadap karya sastra adalah
keseluruhan, kemudia analisis bagian-bagian.
Karya-karya Jassin
dalam bidang kritik sastra antara lain Angkatan
45 (1952), Tifa Penyair dan Daerahnya
(1952), Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esei (4 jilid, 1954 dan 197), Heboh Sastra (1968), Suatu Pertanggungjawaban (1970), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia
(cet. 3, 1981), Sastra Indonesia dan Perjuangan
Bangsa (1993), dan Koran dan Sastra
Indonesia (1994).
0 comments:
Post a Comment