Saturday, April 9, 2016

Menelusuri “Masa Depan Gelap” : Sebuah Kritik Satra



Masa Depan Gelap?
Bagaimana menganggap sebuah pekerjaan kotor dapat memiliki masa depan yang cerah?
Madegel menceritakan tentang Adang Bima adalah seorang Don Corleone kecil-kecilan yang menguasai suatu wilayah dengan “pasukan” premannya. Selepas memenangkan pertarungan ksatria dengan pemimpin gangster kubu lawan, ia dicurangi dan dibokong Ateng Gada. Kepalanya dipukul hingga pingsan. Polisi datang dan perkelahian bubar serabutan. Adang Bima ditemukan masyarakat yang sedang takbiran dan dibawa ke rumah Haji Suryaman, seorang tokoh masyarakat dan pengusaha kaya yang tampil ebagai pemuka agama, pemurah, suci dan gemar poligami. Saat siuman, ternyata Adang Bima mengalami amnesia. Ia mendalami agama dan berubah menjadi orang sakeh sekaligus cendekia. Dalam pada itu, Suryaman makin kelihatan menjadikan posisinya sebagai pemuka agama untuk memenuhi ambisinya akan segitiga emas : harta, kuasa, wanita. Ia bersiap dengan berbagai cara ingin menjadi wakil rakyat alias anggota DPR yang terhormat. Berbagai intrik pun dicoba untuk memenangi tender (harta), terpilih dalam pilkada (kuasa), dan menceraikan istri kedua dari ke empat istrinya untuk mereformasinya dengan gadis muda.

            Madegel merupakan salah satu karya karya Saini KM tahun 1987 yang dipentaskan pada tanggal 18, 19 dan 20 Desember 2015 di gedung Sunan Ambu, ISBI Bandung, oleh Jurusan Teaeter ISBI Bandung. Saini KM merupakanseorang penyair, esais, dramawan, budayawan, guru besar ini di kenal perrtama kali sebagai penyair. Beliau lahir di Sumedang, 10 Juni 1938. Berkat rubrik “Pertemuan Kecil”, Pikiran Rakyat yang di asuhnya, lengkap dengan Nyanyian Tanah Air (berisi Nyanyian Tanah Air, Rumah Cermin, Sepuluh Orang Utnsan, dll). Karya dramanya antara lain: Pangeran Geusan Ulun (1963), Pangeran Sutenjaya (1973), Ben Go Tun (1977), Egon (1978), Siapa Bilang Saya Godot (1977), Restoran Anjing (1979), Senkat Kacamata Hitam (1979), Sang Prabu (1981), Panji Koming (1984), Syekh Siti Jenar (1986), Ken Arok (1985), Amat Jaga (1985), Madegel (1987).Drama anak-anaknya: Kerajaan Bumng (1980), dan Kalpataru (1981).
Drama Madegel kali ini di sutradrai oleh Yoyo C Durachman.Yoyo C. Durachman, lahir di Bandung. Hidup Yoyo nyaris telah melekat dengan teater. Ia bergabung dengan Studiklub Teater Bnadung (STB) sebelum kemudian mendirikan kelompok teater Sanggar Kita bersama temann-temannya. Bersama Sanggar Kita, ia menyutradarai dan mementaskan naskah-naskah yang terbilang berat pada masa itu, seperti Teroris Albert Camus, Raja Mati lonesco, atau Matinya Pedangan Keliling Arthur Miller. Selain menjadi sutradara di Sanggar Kita, ia juga sesekali menjadi sutradara untuk garapan STB dan Studio Teater, ISBI Bandung.  
Drama Madegel juga di bintangi para aktor yang sudah sering masuk ke dalam dunia teater di antaranya adalah Irwan Guntari (Harisnudin), lahir di Bandung. berteater sejak tahun 1985, baik sebagai actor maupun sutradara. Mendirikan Teater Alibi tahun 1994 dan mnyutradarai 22 pertunjukan. Ia juga Pembina sutradar di Art Laboratory Bandung.Ikbal Maulan (Adang Bima/ Muhajir), lahir di Bandung, 18 Mei 1989. Sebagai aktor ia telah berperan dalam sejumlah garapan teater antara lain: Perjalanan Menuju Spi (2008); Caligula, Machbet, Hutan Hujan Malam Pelarian, Norma, Hanya Satu Kali, Orang Asing, Sandek Pemuda Pekerja, Burried Child, Godlob, dll. Tahun lalu ia bermain dalam Nyanyian Angsa, Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia, dan Maem Mendut.M R Al-Dino (Amat Tega), lahir di Bandung, 12 Agustus 1985. Ia bermain dalam sejumla pertunjukkan teater antara lain: Sadrah, Jante Arkidam, Senja di Bandung Selatan, Rambut Palsu, Margin, dan Prabu Maha Anu.Lili Rosidah (Ning), lahir di Bandung, 9 Agustus 1970. Aktif di teater dari tahun 1990-2005, bergabung di Madegel sebagai Pimpinan Produksi sekalgus sebagai pemeran dalam upaya mengobati kerinduan akan seni peran.Retno Dwimarwati (Uwak), lahir di Bandung, 8 Mei 1966, menjadi pemeran sejak tahun 1984. Ia aktif di beberapa kelompok Teater di Bandung, terutama Studiklub Teater Bandung (STB). Akhmad Ramadani (Ba’un), lahir di Bandung, 14 Februari 1995.Gaus F M (Suyaman / Pak Haji), lahir di Bandung, 1 April 1971. Ia pernah bergabung dengan STB, Teater Re-Publik, Laskar Panggug dan Teater Payung Hitam seerta berpentas di berbagai kota di Indonesia, Jepang dan Australia.Yanti Heriawati (Salamah), lahir di Majalengka, 1977. Latar belakang berkeseniannya adaah di bidang tari, tetapi pernah bermain dalam teater Tabib Gadungan, Nyai Ontosoroh dan Kawin Bedil.Rizal Sofyan (sopir / ragil / cakil), lahir di Rangkasbitung, 27 September 1996. Ia pernah menjadi Orang Tua pada naskah Arwah-Arwah jarya W B Yeats (2015) dan menjadi Samsu dalam Pakaian dan Kepalsuan karya Averchenko saduran bebas Achdiat (2015). Ia juga menulis naskah Hirup mah Peurih Lur dan menyutradarainya (2015).Herman Effendi (Kiai Haji Basuni), semasa muda bermain dalam sejumlah garapan, antara lain: Teroris, Telor-Telor, Raja Mati, Orang Kasar, Impian di Tengah Musim, Geusan Ulun, dll. Ia juga menyutradari: Sangkuriang, Utuy T Sontanoi dan Orang Kasar, Anton Chekov.M Tavip (Awon), lahir 27 Oktober 1965. Selain actor ia teerutama dikenal sebagai penata kostum, sejak tahun 1988 hingga kini. Ia aktif dan terlibat dalam sejumlah garapan  SKB, STB, KPH, AKBI, Teater Koma.Elly Martini (Rukmi), lahir di Bandung, 10 Maret 1967. Aktif di beberapa kelompok teater di Bandung sejak 1986.Zaenal Ahmad Kurniawan (Ko’ing), lahir di Bandung, 23 November 1994. Ia terlibat dalam sejumbah pertunjukkan, antara lain: Pop Opera Sangkuriang, Kavia Sang Nata (LEAR ASIA); Antigone; Sweney Todd; Dalam Bayangan Tuhan; sampai yang terbaru (2015), yaitu: Biografi Tomat dan Batu, Pertemuan dalam Lubang Jarum, Burried Child dan The Elephant King.Hendra Permana, S.Sn (Jujunan), lahir di Jakarta 25 Agustus 1974. Tahun 2003, sebagai actor di festival Kampnagel, Hamburg – Jerman. Bersama teater Payung Hitam dalam pertunjukkan “KASPAR”. Bersama teater Payung Hitam ia berperan dalam sejumlah pertunjukkan dan tampil di Oerol Festival, Terschelling – Belanda; Festival Nusantara, Brisbane – Australia dsb.
            Kemampuan para aktor yang membintangi drama Madegel kali ini sudah tak dapat diragukan lagi. melihat pengalaman para aktor yang sudah lama terjun dalam dunia teater membuat para aktor ini sangat apik dalam memerankan perannya di dalam pertunjukkan. Namun, meskipun sudah memiliki jam terbang yang cukup banyak, tak jarang ada beberapa aktor yang tak sengaja melakukan kesalahan seperti salah mengucapkan dialog. Kesalahan ini, mungkin disebabkan oleh pertunjukkan yang terlalu malam, sehingga menyebabkan para pemain lebih sedikit lelah dan mengantuk yang mengaikbatkan beberapa kesalahan dialog. Salah sat dialog yang seharusnya di ucapkan adalah “tahun kemarin”, tetepi tokoh tersebut malah menyebutkan dialog “tahun depan”, meskipun sudah diberi isyarat oleh aktor lain, tapi sepertinya aktor yang salah mengucapkan dialog tersebut tidak sadar untuk beberapa waktu. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya tokoh itu menyadari kesalahannya dan menggulangi dialog yang sebenarnya. Kemudia kesalahan seperti itu terlihat kembali oleh tokoh lainnya. Dialog yang seharusnya diucapkan adalah “pelayan”, tapi aktor tersebut malah menyebutkan kata “nelayan”. Sama seperti halnya tadi, aktor yang melakukan kesalahan tersebut membutuhkan beberapa waktu untuk menyadari kesalahannya setelah diberi isyarat oleh para pemain lainnya. Selain soal akting para aktor yang sudah tak perlu di ragukan lagi. Vokal para aktor juga sudah cukup terdengar hingga ke belakang, meskipun jarak panggung dengan kursi penonton cukup jauh. Artikulasi para tokoh juga sangat jelas terdengar, tidak ada yang terdengar tidak jelas.
            Tata make up, pada drama ini sudah sangat bagus. Ini terlihat di usia para aktor yang sudah tak lagi muda, namun pada saat mereka pentas mereka terlihat cocok dengan usia yang mereka perankan masing-masing. Penataan kostum para pemain juga sudah rapi, tetapi ada satu hal yang mengganjal. Kostum seharusnya dapat mencerminkan karakter tokoh yang akan diperankan. Seharusnya tokoh islami, solehah, dan penghafal Al-Qu’an dapat menggunakan kostum yang lebih longgar dan tidak membentuk lekuk tubuh. Namun, sayangnya aktor yang memerani tokoh ini menggunakan kostum yang membentuk lekuk tubuh, terutaa di bagian roknya, meskipun memang sudah berkerudung panjang. Penataan cahaya juga sudah mendukung latar waktu dan suasana setting drama Madegel. Penggunaan properti pementasaan terihat simple, hanya ada barang-barang inti yang memang menunjang pementasan. Bila dilihat dari tahun karya Madegel dibuat, yaitu tahun 1987 kursi yang berada di rumah Suyaman terlihat terlalu modern seperti kursi-kursi pada tahun 2000an.
            Apabila dilihat dari jalan ceritanya Madegel dapat dikaitkan dengan ilmu sosiologi sastra. Hal ini terlihat karena Madegel berusaha untuk menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu. Naskah ini ditulis pada tahun 1987, dimana antara tahun 1980-1990 situasi politik di Indonesia kian seragam melaluipembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Selain itu, tokoh Suyamanlah yang sangat ditunjukan untuk menggambarkan kondisi sosial Indonesia pada tahun 80-90an, dimana Suyaman akan melakukan apa saja agar ia menjadi lebih kaya, dapat berkuasa dengan menjadi anggota Dewan, dan menjadi seorang pemuka agama yang dapat dilihat orang lain, bahwa ia adalah sosok orang baik. Bila dilihat dari segi sosiologi sastra, Suyaman merupakan sosok yang akan haus kekuasan, selalu ingin memperlihatkan sosok kebaikan dalam dirinya di depan orang-orang dan di anggap sebagai pemuka agama, serta haus akan wanita.  Sementara dalam ajaran agama, memang di izinkan seorang laki-laki memiliki empat istri. Suyaman memang mentaati aturan agama yang melarang memiliki istri lebih dari empat, sehingga saat ia ingin menikah lagi maka ia akan menceraikan istri keduanya. Namun, disini jelas terlihat bahwa pandangan Suyaman tentang aturan agama telah menyimpang, karena yang ia akan menikah dengan seorang gadis muda yang cantic dan pandai bersolek, bukannya janda miskin seperti yang sudah ada pada ajaran agama islam. Kemudian Suyaman melakukan hal-hal baik hanya untuk memiliki citra baik dirinya di mata masyarakat. Ini terlihat saat Suyaman tahu bahwa Muhajir telah memidahkan hewan sapi kurban milik Suyaman ke masjid yang memang belum ada sapinya. Saat itu Suyaman sangat marah, karena menurutnya Muhajir telah mempermalukannya di hadapan masyarakat, karena memang niat awal Suyaman adalah untuk menciptakan cita dirinya yag selalu baik dan darmawan di hadapan masyarakat yang tidak mengetahui bagaiaman sikap aslinya.

0 comments:

Post a Comment