Masa
Depan Gelap?
Bagaimana
menganggap sebuah pekerjaan kotor dapat memiliki masa depan yang cerah?
Madegel
menceritakan tentang Adang Bima adalah seorang Don Corleone kecil-kecilan yang
menguasai suatu wilayah dengan “pasukan” premannya. Selepas memenangkan
pertarungan ksatria dengan pemimpin gangster kubu lawan, ia dicurangi dan
dibokong Ateng Gada. Kepalanya dipukul hingga pingsan. Polisi datang dan
perkelahian bubar serabutan. Adang Bima ditemukan masyarakat yang sedang
takbiran dan dibawa ke rumah Haji Suryaman, seorang tokoh masyarakat dan
pengusaha kaya yang tampil ebagai pemuka agama, pemurah, suci dan gemar
poligami. Saat siuman, ternyata Adang Bima mengalami amnesia. Ia mendalami
agama dan berubah menjadi orang sakeh sekaligus cendekia. Dalam pada itu,
Suryaman makin kelihatan menjadikan posisinya sebagai pemuka agama untuk
memenuhi ambisinya akan segitiga emas : harta, kuasa, wanita. Ia bersiap dengan
berbagai cara ingin menjadi wakil rakyat alias anggota DPR yang terhormat.
Berbagai intrik pun dicoba untuk memenangi tender (harta), terpilih dalam
pilkada (kuasa), dan menceraikan istri kedua dari ke empat istrinya untuk
mereformasinya dengan gadis muda.
Madegel merupakan salah satu karya
karya Saini KM tahun 1987 yang dipentaskan pada tanggal 18, 19 dan 20 Desember
2015 di gedung Sunan Ambu, ISBI Bandung, oleh Jurusan Teaeter ISBI Bandung.
Saini KM merupakanseorang penyair, esais, dramawan, budayawan, guru besar ini
di kenal perrtama kali sebagai penyair. Beliau lahir di Sumedang, 10 Juni 1938.
Berkat rubrik “Pertemuan Kecil”, Pikiran
Rakyat yang di asuhnya, lengkap dengan Nyanyian
Tanah Air (berisi Nyanyian Tanah Air,
Rumah Cermin, Sepuluh Orang Utnsan, dll). Karya dramanya antara lain: Pangeran Geusan Ulun (1963), Pangeran Sutenjaya (1973), Ben Go Tun (1977), Egon (1978), Siapa Bilang
Saya Godot (1977), Restoran Anjing (1979), Senkat Kacamata Hitam (1979), Sang Prabu (1981), Panji Koming (1984), Syekh
Siti Jenar (1986), Ken Arok (1985), Amat Jaga (1985), Madegel (1987).Drama anak-anaknya: Kerajaan Bumng (1980), dan Kalpataru
(1981).
Drama
Madegel kali ini di sutradrai oleh Yoyo C Durachman.Yoyo C. Durachman, lahir di
Bandung. Hidup Yoyo nyaris telah melekat dengan teater. Ia bergabung dengan
Studiklub Teater Bnadung (STB) sebelum kemudian mendirikan kelompok teater
Sanggar Kita bersama temann-temannya. Bersama Sanggar Kita, ia menyutradarai dan
mementaskan naskah-naskah yang terbilang berat pada masa itu, seperti Teroris Albert Camus, Raja Mati lonesco, atau Matinya Pedangan Keliling Arthur Miller.
Selain menjadi sutradara di Sanggar Kita, ia juga sesekali menjadi sutradara
untuk garapan STB dan Studio Teater, ISBI Bandung.
Drama Madegel juga di bintangi para aktor yang sudah
sering masuk ke dalam dunia teater di antaranya adalah Irwan Guntari
(Harisnudin), lahir di Bandung. berteater sejak tahun 1985, baik sebagai actor
maupun sutradara. Mendirikan Teater Alibi tahun 1994 dan mnyutradarai 22
pertunjukan. Ia juga Pembina sutradar di Art Laboratory Bandung.Ikbal Maulan
(Adang Bima/ Muhajir), lahir di Bandung, 18 Mei 1989. Sebagai aktor ia telah
berperan dalam sejumlah garapan teater antara lain: Perjalanan Menuju Spi (2008); Caligula, Machbet, Hutan Hujan Malam
Pelarian, Norma, Hanya Satu Kali, Orang Asing, Sandek Pemuda Pekerja, Burried
Child, Godlob, dll. Tahun lalu ia bermain dalam Nyanyian Angsa, Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia, dan Maem Mendut.M R Al-Dino (Amat Tega),
lahir di Bandung, 12 Agustus 1985. Ia bermain dalam sejumla pertunjukkan teater
antara lain: Sadrah, Jante Arkidam, Senja
di Bandung Selatan, Rambut Palsu, Margin, dan Prabu Maha Anu.Lili Rosidah (Ning), lahir di Bandung, 9 Agustus
1970. Aktif di teater dari tahun 1990-2005, bergabung di Madegel sebagai Pimpinan Produksi sekalgus sebagai pemeran dalam
upaya mengobati kerinduan akan seni peran.Retno Dwimarwati (Uwak), lahir di
Bandung, 8 Mei 1966, menjadi pemeran sejak tahun 1984. Ia aktif di beberapa
kelompok Teater di Bandung, terutama Studiklub Teater Bandung (STB). Akhmad
Ramadani (Ba’un), lahir di Bandung, 14 Februari 1995.Gaus F M (Suyaman / Pak
Haji), lahir di Bandung, 1 April 1971. Ia pernah bergabung dengan STB, Teater Re-Publik,
Laskar Panggug dan Teater Payung Hitam seerta berpentas di berbagai kota di
Indonesia, Jepang dan Australia.Yanti Heriawati (Salamah), lahir di Majalengka,
1977. Latar belakang berkeseniannya adaah di bidang tari, tetapi pernah bermain
dalam teater Tabib Gadungan, Nyai
Ontosoroh dan Kawin Bedil.Rizal
Sofyan (sopir / ragil / cakil), lahir di Rangkasbitung, 27 September 1996. Ia
pernah menjadi Orang Tua pada naskah Arwah-Arwah
jarya W B Yeats (2015) dan menjadi Samsu dalam Pakaian dan Kepalsuan karya
Averchenko saduran bebas Achdiat (2015). Ia juga menulis naskah Hirup mah Peurih Lur dan
menyutradarainya (2015).Herman Effendi (Kiai Haji Basuni), semasa muda bermain
dalam sejumlah garapan, antara lain: Teroris,
Telor-Telor, Raja Mati, Orang Kasar, Impian di Tengah Musim, Geusan Ulun,
dll. Ia juga menyutradari: Sangkuriang, Utuy
T Sontanoi dan Orang Kasar, Anton
Chekov.M Tavip (Awon), lahir 27 Oktober 1965. Selain actor ia teerutama dikenal
sebagai penata kostum, sejak tahun 1988 hingga kini. Ia aktif dan terlibat
dalam sejumlah garapan SKB, STB, KPH,
AKBI, Teater Koma.Elly Martini (Rukmi), lahir di Bandung, 10 Maret 1967. Aktif
di beberapa kelompok teater di Bandung sejak 1986.Zaenal Ahmad Kurniawan
(Ko’ing), lahir di Bandung, 23 November 1994. Ia terlibat dalam sejumbah
pertunjukkan, antara lain: Pop Opera
Sangkuriang, Kavia Sang Nata (LEAR ASIA); Antigone; Sweney Todd; Dalam Bayangan
Tuhan; sampai yang terbaru (2015), yaitu: Biografi Tomat dan Batu, Pertemuan dalam Lubang Jarum, Burried Child dan
The Elephant King.Hendra Permana,
S.Sn (Jujunan), lahir di Jakarta 25 Agustus 1974. Tahun 2003, sebagai actor di
festival Kampnagel, Hamburg – Jerman. Bersama teater Payung Hitam dalam
pertunjukkan “KASPAR”. Bersama teater Payung Hitam ia berperan dalam sejumlah
pertunjukkan dan tampil di Oerol
Festival, Terschelling – Belanda; Festival Nusantara, Brisbane – Australia
dsb.
Kemampuan para aktor yang
membintangi drama Madegel kali ini sudah tak dapat diragukan lagi. melihat
pengalaman para aktor yang sudah lama terjun dalam dunia teater membuat para
aktor ini sangat apik dalam memerankan perannya di dalam pertunjukkan. Namun,
meskipun sudah memiliki jam terbang yang cukup banyak, tak jarang ada beberapa
aktor yang tak sengaja melakukan kesalahan seperti salah mengucapkan dialog.
Kesalahan ini, mungkin disebabkan oleh pertunjukkan yang terlalu malam,
sehingga menyebabkan para pemain lebih sedikit lelah dan mengantuk yang
mengaikbatkan beberapa kesalahan dialog. Salah sat dialog yang seharusnya di
ucapkan adalah “tahun kemarin”, tetepi tokoh tersebut malah menyebutkan dialog
“tahun depan”, meskipun sudah diberi isyarat oleh aktor lain, tapi sepertinya
aktor yang salah mengucapkan dialog tersebut tidak sadar untuk beberapa waktu.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya tokoh itu menyadari kesalahannya dan
menggulangi dialog yang sebenarnya. Kemudia kesalahan seperti itu terlihat
kembali oleh tokoh lainnya. Dialog yang seharusnya diucapkan adalah “pelayan”,
tapi aktor tersebut malah menyebutkan kata “nelayan”. Sama seperti halnya tadi,
aktor yang melakukan kesalahan tersebut membutuhkan beberapa waktu untuk
menyadari kesalahannya setelah diberi isyarat oleh para pemain lainnya. Selain
soal akting para aktor yang sudah tak perlu di ragukan lagi. Vokal para aktor
juga sudah cukup terdengar hingga ke belakang, meskipun jarak panggung dengan
kursi penonton cukup jauh. Artikulasi para tokoh juga sangat jelas terdengar,
tidak ada yang terdengar tidak jelas.
Tata make up, pada drama ini sudah sangat bagus. Ini terlihat di usia
para aktor yang sudah tak lagi muda, namun pada saat mereka pentas mereka
terlihat cocok dengan usia yang mereka perankan masing-masing. Penataan kostum
para pemain juga sudah rapi, tetapi ada satu hal yang mengganjal. Kostum
seharusnya dapat mencerminkan karakter tokoh yang akan diperankan. Seharusnya
tokoh islami, solehah, dan penghafal Al-Qu’an dapat menggunakan kostum yang
lebih longgar dan tidak membentuk lekuk tubuh. Namun, sayangnya aktor yang
memerani tokoh ini menggunakan kostum yang membentuk lekuk tubuh, terutaa di
bagian roknya, meskipun memang sudah berkerudung panjang. Penataan cahaya juga
sudah mendukung latar waktu dan suasana setting
drama Madegel. Penggunaan properti pementasaan terihat simple, hanya ada
barang-barang inti yang memang menunjang pementasan. Bila dilihat dari tahun
karya Madegel dibuat, yaitu tahun 1987 kursi yang berada di rumah Suyaman
terlihat terlalu modern seperti kursi-kursi pada tahun 2000an.
Apabila dilihat dari jalan ceritanya
Madegel dapat dikaitkan dengan ilmu sosiologi sastra. Hal ini terlihat karena
Madegel berusaha untuk menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu. Naskah
ini ditulis pada tahun 1987, dimana antara tahun 1980-1990 situasi politik di
Indonesia kian seragam melaluipembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat
nasional. Selain itu, tokoh Suyamanlah yang sangat ditunjukan untuk
menggambarkan kondisi sosial Indonesia pada tahun 80-90an, dimana Suyaman akan
melakukan apa saja agar ia menjadi lebih kaya, dapat berkuasa dengan menjadi
anggota Dewan, dan menjadi seorang pemuka agama yang dapat dilihat orang lain,
bahwa ia adalah sosok orang baik. Bila dilihat dari segi sosiologi sastra,
Suyaman merupakan sosok yang akan haus kekuasan, selalu ingin memperlihatkan
sosok kebaikan dalam dirinya di depan orang-orang dan di anggap sebagai pemuka
agama, serta haus akan wanita. Sementara
dalam ajaran agama, memang di izinkan seorang laki-laki memiliki empat istri.
Suyaman memang mentaati aturan agama yang melarang memiliki istri lebih dari
empat, sehingga saat ia ingin menikah lagi maka ia akan menceraikan istri
keduanya. Namun, disini jelas terlihat bahwa pandangan Suyaman tentang aturan
agama telah menyimpang, karena yang ia akan menikah dengan seorang gadis muda
yang cantic dan pandai bersolek, bukannya janda miskin seperti yang sudah ada
pada ajaran agama islam. Kemudian Suyaman melakukan hal-hal baik hanya untuk
memiliki citra baik dirinya di mata masyarakat. Ini terlihat saat Suyaman tahu
bahwa Muhajir telah memidahkan hewan sapi kurban milik Suyaman ke masjid yang
memang belum ada sapinya. Saat itu Suyaman sangat marah, karena menurutnya
Muhajir telah mempermalukannya di hadapan masyarakat, karena memang niat awal
Suyaman adalah untuk menciptakan cita dirinya yag selalu baik dan darmawan di
hadapan masyarakat yang tidak mengetahui bagaiaman sikap aslinya.
0 comments:
Post a Comment