Penulis Novel
Gadis Pantai ini, Pramoedya Ananta Toer, lahir di Blora, Jawa Tengah, Indonesia
pada tanggal 6 Februari 1925. Dia salah satu orang yang sangat berjasa bagi
sastra Indonesia karena buku yang sudah ditulisnya sangat menarik untuk dibaca.
Separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara karena menentang Belanda pada saat
itu. Tetapi, ia mempunyai banyak penghargaan dalam bidang sastra.
Tahun 1982,
cetakan pertama Gadis Pantai ini diterbitkan. Bukan hanya Gadis Pantai karya
Pram, masih banyak deretan judul novel yang ditulis oleh Pram, diantaranya
Rumah Kaca (1988), Bumi Manusia (1980), Jejak Langkah (1985), Keluarga Gerilya
(1986), dan sebagainya.
Saya akan sedikit
membahas pokok-pokok yang ada di dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya ini.
Yang pertama saya akan membahas hal yang mengesankan dan tidak mengesankan
dalam novel tersebut.
Hal yang
mengesankan menurut saya dalam penokohan tokoh utama dalam novel ini tidak
diberi nama sepanjang alur cerita. Hanya dipanggil dengan sebutan “Gadis
Pantai” atau “Mas Nganten”. Menarik di sini menurut saya karena mengajak
pembaca untuk sedikit bermain oleh penamaan tokoh yang tanpa nama seperti
kebanyakan novel. Menyuruh pembaca untuk mengingat bahwa tokoh utama ialah si
Gadis Pantai ini. “Mereka ditinggalkan di ruangan panjang itu. Tak ada seorang pun
bicara. Gadis Pantai lupa pada tangisnya”. (Gadis Pantai, 2003:17) “Gadis
Pantai terperanjat. Sisir di tangannya jatuh di atas meja”. (Gadis
Pantai, 2003:27) “Aku terlalu lelah, Mas Nganten. Buatlah aku bermimpi tanpa tidur”. (Gadis
Pantai, 2003:101)
Lalu, hal yang
tidak menarik dalam novel tersebut ialah ketika sahaya yang biasa akrab
dipanggil dengan sebutan “Mbok” oleh Gadis Pantai tidak suka diperlakukan
layaknya sahabat. Seperti ada benteng yang membatasi diri mereka, sahaya dengan
wanita utama, Gadis Pantai itu sendiri. “Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro,
PADA Allah, seperti sahaya begini menempatkan diri lebih tiggi dari lutut
Bendoronya”. (Gadis Pantai, 2003:61)
Yang kedua
adalah mengenai tema dari novel tersebut. Tema dari novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer lebih bertema tradisi dan kebudayaan, khususnya adat
Jawa. Saya akan mengutip satu kalimat dari novel tersebut, “Nampak
bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia
banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum
Bendoro di daerah pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan
tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan
demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari
karat kebangsawanan yang setingkat”. (Gadis Pantai, 2003:80)
Banyak
mengisahkan tentang tradisi tanah Jawa pada saat itu. Kutipan di atas salah
satu buktinya. Dalam kutipan itu dijelaskan bahwa dalam tradisi para Priyayi
Jawa, seorang Priyayi akan menikahi gadis yang tidak sederajat dengannya hanya untuk
latihan dan tidak serius dengan hubungan pernikahan tersebut. Sebelum mereka
menikahi gadis yang sederajat dengannya dan akan menjadi pernikahan yang
sesungguhnya bagi sang Priyayi sendiri.
Lalu, relevansi
dalam novel Gadis Pantai dengan kehidupan masa kini. Untuk tradisi tanah Jawa
yang seperti ini mungkin hanya ada beberapa atau hanya segelintir masyarakat
tanah Jawa yang masih memgah teguh tingkatan derajat yang dimiliki sejak lahir
oleh masing-masing masyarakat.
Lalu saya akan
membahas tentang “suara” hamba sahaya dalam novel Gadis Pantai ini. Ada
beberapa pandangan hamba sahaya tentang kaum priyayi dalam novel ini. “Tidak
mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak Mungkin.” (Gadis
Pantai, 2003:127) . Dalam kutipan tersebut jelas terlihat anak dari priyayi
saja tidak pantas mendapat perintah dari hamba sahaya.
“Pada aku ini Mas
Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan
untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai, 2003:27) . Dalam
kutipan jelas sekali bahwa sahaya menganggap dirinya benar-benar rendah bila
disandingi dengan priyayi dan wanita utama, atau si Gadis Pantai itu sendiri.
“Kau pikir apa kami
ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?” (Gadis
Pantai, 2003:111). Kemarahan agus-agus saat mereka dituduh mengambil uang
belanja milik Gadis Pantai yang diberi oleh Bendoro. Terlihat ia kecewa
dipandang sebelah mata hanya karena lagi-lagi derajatnya.
Tidak hanya
menyangkut soal derajat yang diceritakan dalam novel ini. Namun menyangkut soal
perbedaan jenis kelamin sangatlah nyata. Di dalam novel, Gadis Pantai
melahirkan bayi perempuan dari pernikahan Bendoro. Namun, Bendoro tidak
mengharapkan kelahiran bayi perempuan.
Dan terakhir
saya akan membahas ektremitas tokoh Bendoro dalam Gadis Pantai ini. Sikap
Bendoro yang di luar akal sehat menurut saya yang saat ini membaca novel yang
berbeda pikiran masa lalu dengan sekarang ialah saat Bendoro mengatakan bahwa
ia hanya akan benar-benar beristri ketika mendapatkan istri seorang bangsawan.
Terdapat dalam kutipan “Apa mesti sahaya katakan?Bendoro masih
perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.” (Gadis Pantai,
2003:155).
Dalam novel ini
menggunakan orang ketiga serbatahu. Ini yang pertama saya bahas mengenai hal
menarik dari novel Gadis Pantai. Maka dari itu penulis bebas menuliskan
perasaan yang ada dalam novel. Tidak terpaku pada satu hati yang hanya
diketahui pada penulis. Seperti orang pertama yang menggunakan aku pada setiap
kalimatnya.
0 comments:
Post a Comment