Sunday, April 17, 2016

Priyayi dan Sahaya dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer



Penulis Novel Gadis Pantai ini, Pramoedya Ananta Toer, lahir di Blora, Jawa Tengah, Indonesia pada tanggal 6 Februari 1925. Dia salah satu orang yang sangat berjasa bagi sastra Indonesia karena buku yang sudah ditulisnya sangat menarik untuk dibaca. Separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara karena menentang Belanda pada saat itu. Tetapi, ia mempunyai banyak penghargaan dalam bidang sastra.
Tahun 1982, cetakan pertama Gadis Pantai ini diterbitkan. Bukan hanya Gadis Pantai karya Pram, masih banyak deretan judul novel yang ditulis oleh Pram, diantaranya Rumah Kaca (1988), Bumi Manusia (1980), Jejak Langkah (1985), Keluarga Gerilya (1986), dan sebagainya.
Saya akan sedikit membahas pokok-pokok yang ada di dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya ini. Yang pertama saya akan membahas hal yang mengesankan dan tidak mengesankan dalam novel tersebut.
Hal yang mengesankan menurut saya dalam penokohan tokoh utama dalam novel ini tidak diberi nama sepanjang alur cerita. Hanya dipanggil dengan sebutan “Gadis Pantai” atau “Mas Nganten”. Menarik di sini menurut saya karena mengajak pembaca untuk sedikit bermain oleh penamaan tokoh yang tanpa nama seperti kebanyakan novel. Menyuruh pembaca untuk mengingat bahwa tokoh utama ialah si Gadis Pantai ini. “Mereka ditinggalkan di ruangan panjang itu. Tak ada seorang pun bicara. Gadis Pantai lupa pada tangisnya”. (Gadis Pantai, 2003:17) “Gadis Pantai terperanjat. Sisir di tangannya jatuh di atas meja”. (Gadis Pantai, 2003:27) “Aku terlalu lelah, Mas Nganten. Buatlah aku bermimpi tanpa tidur”. (Gadis Pantai, 2003:101)

Lalu, hal yang tidak menarik dalam novel tersebut ialah ketika sahaya yang biasa akrab dipanggil dengan sebutan “Mbok” oleh Gadis Pantai tidak suka diperlakukan layaknya sahabat. Seperti ada benteng yang membatasi diri mereka, sahaya dengan wanita utama, Gadis Pantai itu sendiri. “Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, PADA Allah, seperti sahaya begini menempatkan diri lebih tiggi dari lutut Bendoronya”. (Gadis Pantai, 2003:61)
Yang kedua adalah mengenai tema dari novel tersebut. Tema dari novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer lebih bertema tradisi dan kebudayaan, khususnya adat Jawa. Saya akan mengutip satu kalimat dari novel tersebut, “Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum Bendoro di daerah pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat”. (Gadis Pantai, 2003:80)
Banyak mengisahkan tentang tradisi tanah Jawa pada saat itu. Kutipan di atas salah satu buktinya. Dalam kutipan itu dijelaskan bahwa dalam tradisi para Priyayi Jawa, seorang Priyayi akan menikahi gadis yang tidak sederajat dengannya hanya untuk latihan dan tidak serius dengan hubungan pernikahan tersebut. Sebelum mereka menikahi gadis yang sederajat dengannya dan akan menjadi pernikahan yang sesungguhnya bagi sang Priyayi sendiri.
Lalu, relevansi dalam novel Gadis Pantai dengan kehidupan masa kini. Untuk tradisi tanah Jawa yang seperti ini mungkin hanya ada beberapa atau hanya segelintir masyarakat tanah Jawa yang masih memgah teguh tingkatan derajat yang dimiliki sejak lahir oleh masing-masing masyarakat.
Lalu saya akan membahas tentang “suara” hamba sahaya dalam novel Gadis Pantai ini. Ada beberapa pandangan hamba sahaya tentang kaum priyayi dalam novel ini. “Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak Mungkin.” (Gadis Pantai, 2003:127) . Dalam kutipan tersebut jelas terlihat anak dari priyayi saja tidak pantas mendapat perintah dari hamba sahaya.
“Pada aku ini Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai, 2003:27) . Dalam kutipan jelas sekali bahwa sahaya menganggap dirinya benar-benar rendah bila disandingi dengan priyayi dan wanita utama, atau si Gadis Pantai itu sendiri.
“Kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?” (Gadis Pantai, 2003:111). Kemarahan agus-agus saat mereka dituduh mengambil uang belanja milik Gadis Pantai yang diberi oleh Bendoro. Terlihat ia kecewa dipandang sebelah mata hanya karena lagi-lagi derajatnya.
Tidak hanya menyangkut soal derajat yang diceritakan dalam novel ini. Namun menyangkut soal perbedaan jenis kelamin sangatlah nyata. Di dalam novel, Gadis Pantai melahirkan bayi perempuan dari pernikahan Bendoro. Namun, Bendoro tidak mengharapkan kelahiran bayi perempuan.
Dan terakhir saya akan membahas ektremitas tokoh Bendoro dalam Gadis Pantai ini. Sikap Bendoro yang di luar akal sehat menurut saya yang saat ini membaca novel yang berbeda pikiran masa lalu dengan sekarang ialah saat Bendoro mengatakan bahwa ia hanya akan benar-benar beristri ketika mendapatkan istri seorang bangsawan. Terdapat dalam kutipan “Apa mesti sahaya katakan?Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.” (Gadis Pantai, 2003:155).
Dalam novel ini menggunakan orang ketiga serbatahu. Ini yang pertama saya bahas mengenai hal menarik dari novel Gadis Pantai. Maka dari itu penulis bebas menuliskan perasaan yang ada dalam novel. Tidak terpaku pada satu hati yang hanya diketahui pada penulis. Seperti orang pertama yang menggunakan aku pada setiap kalimatnya.

0 comments:

Post a Comment